Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Tuesday, March 20, 2012

Si Mamad (1973): Sjumandjaja Memotret Kejujuran


Korupsi tampaknya sudah menjadi sindiran di film Indonesia jauh sebelum hingar bingar seperti sekarang ini. Menariknya, tema korupsi bahkan sudah menggelinding di era-era awal Orde Baru, orde yang melahirkan korupsi yang menggurita selama 32 tahun, dan diteruskan rezim sesudahnya. Bagaimana Sjumandjaja membaca korupsi? Itulah Si Mamad.

Agak menggurui, Sjumandjaja bertutur soal korupsi. Bercerita lewat karakter Pak Muhamad, akrab di panggil Pak Mamad, yang kelewat jujur dalam menjalankan pekerjaannya. Selain jujur, Pak Mamad adalah orang yang punya dedikasi tinggi pada pekerjaannya. Selama 20 tahun bekerja, rutinitasnya hampir sama. Saking rutinnya, suara sepeda tua Pak Mamad menjadi penanda waktu bagi orang lain.

Pak Mamad (Mang Udel) hidup sederhana, kata lain dari miskin sebenarnya. Dengan 6 anak, 5 di antaranya masih kecil-kecil, Pak Mamad tidak bisa di bilang berkecukupan. Sriti (Rina Hassim), istri Pak Mamad, sering mengeluh gula dan kopi sudah habis. Sementara Siti (Ernie Djohan), tak juga mendapat pekerjaan (atau jodoh?). Juga Jantuk, anak terkecilnya sering merengek minta di belikan mainan. Padahal, cita-cita keluarga Pak Mamad cukup sederhana, bisa minum teh di kebun sambil duduk sore-sore. Bahkan, lewat durian, Sjumandjaja menyindir ironi kemiskinan.

Bagi Sjumandjaja, rutinitas Pak Mamad adalah cerminan orang jujur, baik hati dan bersahaja. Dedikasi pada rutinitas itu yang membuat Pak Mamad tak sempat ngobyek, istilah untuk mencari tambahan di luar pekerjaan utama. Pak mamad tidak tergoda akan hal itu sampai mendapati istrinya hamil.

Pak Mamad yang sudah memiliki 6 anak pun pusing bukan kepalang. Mulai lah ia tergoda korupsi. Istighfar saja rasanya tidak cukup mengatasi kemiskinan yang membuat dia tergoda. Tetapi, saking mendarah dagingnya korupsi di lembaga pemerintahan, setiap orang jadi memakluminya, termasuk Tuan Samblun, sang Direktur Arsip. Tapi, kemakluman tanpa penjelasan bukanlah ciri Pak Mamad. Ia merasa harus menjelaskan kenapa harus berbuat demikian yang sesungguhnya bertentangan dengan hati nuraninya sendiri.

Film Si Mamad seolah menyindir perilaku para pegawai Negara yang acuh terhadap pekerjaannya. Masuk kantor telat, dan menjelang siang sudah pada keluar kantor. Si Mamad juga menegaskan perilaku birokratis berdasarkan pangkat pada pegawai Negara. Atau ada juga pegawai Negara yang mengharap pesugihan dengan mendatangi makam-makam kuno.

Perilaku pegawai Negara yang punya posisi penting pun tak luput dari sorotan. Sebagai pembesar, Pak Direktur pun ikutan ngobyek, tentunya dengan pendapatan lebih besar dari bawahannya, dan hidup mewah dengan anak istrinya. Anak istri? Belum tentu! Kata Dokter Budiman (Rachmat Hidajat), “Dalam berkeluarga di jaman modern seperti ini, anak itu gak harus mirip ibunya..terlebih bapaknya.” Kalimat yang mengisyaratkan kemakluman terhadap gonta-ganti istri atau isu istri simpanan di kalangan pejabat.

Sjumandjaja tidak menggurui tentang pandangan agama terhadap korupsi. Lewat Si Mamad, Sjumandjaja berusaha memberikan pemahaman yang justru lebih kuat dari pada agama: Hati Nurani. Bagaimana Pak Mamad berperang dengan hati nuraninya sendiri dan merasa bersalah, hingga pada akhirnya membuatnya jatuh sakit. Nah, Mang Udel apik sekali memerankan tokoh Mamad. Celetukan-celetukannya pas dan memberi warna satire pada film ini. Tapi di balik hitam-putih karakter yang ada di Si Mamad, Sjumandjaja menyelipkan karakter tokoh abu-abu lewat Dokter Budiman. Ya, saya merasa Dokter Budiman ini karakter abu-abu, dia terlihat begitu peduli dan mau membantu Pak Mamad sekaligus juga punya motif tertentu: Cinta Siti.

Film Si Mamad adalah hasil pengembangan cerita pendek karya Anton Chekov, Matinya Seorang Pegawai Negeri. Lewat tangan Sjumandjaja, Si Mamad menjadi penceritaan terbaik drama 3 babak yang sederhana. Kesederhanaan ini diganjar piala Citra untuk kategori Film Terbaik dan Pemeran Utama Pria terbaik FFI 1974. Meski pengenalan karakter tokoh Pak Mamad cukup panjang dan bertele-tele, tapi film ini enak dinikmati. Enak dinikmati karena alur bercerita linier, tidak berbelit-belit, dan langsung tepat sasaran. Karena tepat sasaran itulah, kita paham bagaimana korupsi bekerja.

Tetapi yang paling penting adalah mengenang masa lalu. Lewat film-film tua seperti Si Mamad inilah, penonton dibawa ke masa-masa Jakarta ditahun 70’an. Dan itu kesempatan langka.

*kredit foto: Diambil dari djadoelantik.blogspot.com *

No comments: