Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Wednesday, October 06, 2010

Heart of Jenin (2008): Satu hati, Lima Nyawa

Apa yang bisa di berikan sebuah film dokumenter? Reaksi. Setelah filmmaker membuat aksi dengan memfilmkan sebuah kejadian atau rangkaian kejadian dalam kurun waktu tertentu, kita, penonton seharusnya bisa memberikan reaksi tertentu, terlebih atas nama kemanusiaan.

Duo sutradara Jerman, Leon Geller dan Marcus Vetter mengantarkan sebuah tindakan aksi-reaksi sangat apik dalam film dokumenternya Heart of Jenin (2008). Film ini di buka dengan serah terima jenazah Ahmed Khatib di Tepi Barat, perbatasan Israel-Palestina. Ahmed Khatib di tembak tentara Israel pada hari pertama Idul Fitri, November 2005. Ahmed ditembak dengan sengaja oleh tentara Israel yang mengira ia membawa senapan sungguhan. Bocah 12 tahun asal Jenin ini sedang bermain dengan senapan mainan saat insiden terjadi.

Ahmed sempat di rawat di sebuah rumah sakit di Haifa, Israel selama dua hari sebelum akhirnya dinyatakan meninggal. Selama perawatan, jantung Ahmed berdetak karena bantuan mesin medik. Atas saran dokter rumah sakit, organ tubuh Ahmed akan di donorkan kepada anak-anak lain yang membutuhkan. Ismail Khatib, setelah berdiskusi dengan banyak orang, termasuk Mufti Jenin, akhirnya membolehkan donor organ tersebut, termasuk jantung.

Organ tubuh Ahmed di donorkan kepada 6 orang warga negara Israel. Organ jantung di donorkan kepada Shamah Gadban, 12 tahun, seorang Druze Aran di Dataran Tinggi Golan, Israel. Ginjal di donorkan pada seorang Baduy Arab Muslim, Mohammed (5 tahun) dan seorang gadis cilik Menuha Rivka Levinson berasal dari keluarga Yahudi Ortodoks berusia 3 tahun. Seorang remaja Yahudi juga menerima paru-paru, hati diterima wanita berusia 58 tahun dan balita 7 bulan yang tak selamat dalam operasi cangkok tersebut.

Film ini berkisah perjalanan Ismail Khatib menemui para penerima organ anaknya. Pro-kontra dan ketidak pahaman, baik warga Israel maupun Palestina mewarnai hampir sepanjang film ini. Keluarga Levinson, Yahudi Ortodoks, bahkan sangat keras tidak ingin berteman dengan Ismail Khatib atau orang Arab lainnya. Keluarga besar Ismail Khatib juga tidak diijinkan memasuki wilayah Israel meski memiliki surat-surat lengkap.

Meski sulit, Ismael berhasil menemui ketiga penerima organ anaknya. Momen terbaik adalah saat ia mengunjungi keluarga Gadban yang memberinya 200 tas sekolah untuk lembaga yang ia pimpin di Jenin. Momen canggung juga terekam baik saat Ismail bertemu keluarga Levinson. Ada percakapan yang menarik antara Yakoov Levinson dan Ismail dalam bahasa Israel yang diterjemahkan kerabat Ismail. Yakoov menyarankan agar Ismail pindah ke Turki atau London agar mendapat pekerjaan dan hidup lebih baik. Ismail membalasnya kenapa bukan Levinson saja yang pindah ke sana. Pertemuan dengan Levinson pun berlangsung dengan “jarak” terlihat dari gestur keduanya.

Problem kekerasan dan pendudukan Israel atas Palestina membuat kedua pihak sulit menemukan jalan damai. Insiden tertembaknya Ahmed juga bukan yang pertama kali. Sudah ratusan korban anak-anak Palestina yang tewas di tangan tentara Israel. Juga banyak anak-anak Israel yang tewas karena bom bunuh diri para martir Palestina. Melalui film ini, penonton di ajak berfikir bahwa perlawanan bersenjata yang penuh darah bukan lah jalan utama dan satu-satunya.

Ismail Khatib mencoba melakukannya dengan jalan pendidikan, dimana ia memimpin sebuah lembaga perdamaian yang pendanaannya di sumbang sebuah kota di Italia. Dia dengan tegas berkata bahwa apa yang dilakukannya lebih membuat Israel marah ketimbang menjadi martir bom bunuh diri, sebab Israel akan semakin senang ketika aksi bom bunuh diri tersebut memakan korban jiwa anak-anak Israel. Dengan demikian, menurut Ismail, Israel juga akan semakin gencar menghancurkan pemukiman Palestina bahkan sampai ke tanah negara Palestina itu sendiri.

Keputusan mendonorkan organ tubuh anaknya juga mendapat tentangan dari banyak pihak di Jenin, yang tentunya tak terima organ-organ tersebut jatuh ke warga negara Israel, terutama Yahudi. Mereka berfikir “bagaimana bisa organ tubuh Ahmad di donorkan kepada orang yang telah membuat ia tewas.” Tetapi Abla, ibunda Ahmed, tetap pada keputusan bersama Ismail. Selain itu, dukungan juga di berikan Zakaria Zubeidi, komandan Brigadir Martir al-Aqsa. Zakaria tidak bermasalah dengan Yahudi, sepanjang itu berkaitan dengan kemanusiaan.

Menyimak pernyataan Zakaria Zubeidi, persoalan Israel-Palestina tampaknya memang bukan persoalan religi atau keyakinan biasa. Yahudi dan Islam menjadi bumbu utama konflik yang tidak berkesudahan. Persoalan Israel-Palestina mestinya bisa dilihat dari sudut pandang yang lain, sehingga kedua pihak punya kesamaan visi dan pandangan akan kemanusiaan. Prosesnya memang sulit, terlihat dari stigmatisasi Levinson terhadap bangsa Arab yang menurutnya hanya ingin membunuh Yahudi Israel sebanyak-banyaknya. Tapi rekonsiliasi dan pemahaman akar masalah sangatlah dibutuhkan bagi setiap proses penyelesaian konflik.

Duo Jerman ini bisa memperlihatkan hal tersebut dan membuat saya berfikir tentang akar konflik yang berkepanjangan yang terjadi dimanapun di muka bumi: Ketidakpahaman akan masalah… Heart of Jenin membuka mata akan adanya secercah harapan bagi perdamaian Israel-palestina…Dan Heart of Jenin adalah film dokumenter yang bisa membuat saya meneteskan air mata…