Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Wednesday, April 28, 2010

Film Indonesia Terbaik Satu Dekade...versi saya...

Tahun 2010 belum juga berakhir, tapi setidaknya saya iseng-iseng menyusun Film Indonesia terbaik satu dekade ini (2000-2010). Film-film ini disusun bukan tanpa alasan, tapi dengan mempertimbangkan banyak hal, teknis dan non-teknis. Logika bercerita dan bertutur biasanya menjadi alasan saya untuk memberikan kredit positif buat sebuah film. Kedua, teknis gambar yang enak dinikmati mata saya yang awam. Ketiga kedekatan dengan realitas lokal. Meski film (fiksi) adalah gambaran realitas si pembuatnya, tapi paling tidak kalau mendekati realitas yang sesungguhnya, saya akan dobel nikmat menontonnya. Keempat tema yang diangkat tidak dangkal, ada pesan-pesan tertentu yang bisa saya tangkap. Tema yang diangkat bisa jadi sederhana, bisa jadi rumit dan kompleks...selama logika bercerita dan bertuturnya nyambung dengan kapasitas otak saya yang pas-pasan ini, pasti saya kasih kredit positif kepada filmnya. Daftar ini bisa saja berbeda dengan daftar pilihan anda, bebas saja kok.

Ini dia daftar 20 film Indonesia terbaik satu dekade ini versi saya:
1. cin(T)a - Samaria Simanjuntak, 2009
2. Janji Joni - Joko Anwar, 2005
3. Pintu Terlarang - Joko Anwar, 2009
4. Laskar Pelangi - Riri Riza, 2009
5. Arisan - Nia Dinata, 2003
6. Denias, Senandung Di Atas Awan - John De Rantau, 2006
7. King - Ari Sihasale, 2009
8. Jamila dan Sang Presiden - Ratna Sarumpaet, 2009
9. Pasir Berbisik - Nan T. Achnas, 2001
10. Rumah Dara - The Mo Brothers, 2009
11. Gie - Riri Riza,2005
12. Romeo Juliet - Andybachtiar Yusuf, 2009
13. Babi Buta Yang Ingin Terbang - Edwin 2008
14. Keramat - Monty Tiwa, 2009
15. Mirror - Hanny R. Saputra, 2007
16. Get Married - Hanung Bramantyo, 2008
17. Si Jago Merah - Iqbal Rais, 2008
18. Mengejar Matahari - Rudy Soedjarwo, 2004
19. Catatan Akhir Sekolah - Hanung Bramantyo, 2005
20. 3 Hari Untuk Selamanya - Riri Riza, 2007

Ada beberapa film yang saya juga beri kredit positif dan layak tonton seperti Queen Bee - Fajar Nugroho, 2009; Alangkah Lucunya (Negeri Ini) - Deddy Mizwar, 2010; Menebus Impian - Hanung Bramantyo, 2010; Apapun, daftar tetaplah hanya sebuah daftar...yang paling penting adalah menonton karya sineas anak bangsa yang berkualitas, tidak sekedar horor semi porno. Dan menonton (atau membuat) film adalah pengalaman personal, jadi interprestasi dan tafsir bisa berbeda.

Selamat Menonton!

Monday, April 19, 2010

Menebus Impian (2010)


Apa yang terbesit ketika mendengar kata impian dan selalu diucapkan berkali-kali? Kalau saya, langsung teringat dengan prospektor MLM. Ya..orang yang kerjanya memprospek orang lain untuk mau jadi downline-nya dalam bistis Multi Level Marketing. Terus terang, saya tak suka dengan MLM, apapun namanya, apapun unit bisnisnya, apapun produknya. Tetapi satu hal yang saya kagumi dari mereka adalah sikap tak kenal menyerah, karena mimpi buat mereka adalah panduan hidup. Menyerah berarti gagal...dan dalam bisnis MLM, sekali menyerah dan merasa gagal...maka akan sulit menemukan kembali semangatnya...Semua itu akan kembali hidup jika kita punya mimpi.

Menonton MENEBUS IMPIAN karya Hanung Bramantyo adalah menonton potret realitas masyarakat pinggiran. Masyarakat yang sebagian (kecil) sukses karena mimpi dan sebagian (besar) lainnya realistis menatap hidup. Film ini berkisah tentang Nur (Acha Septriasa) dan Ibunya, Sekar (Ayu Dyah Pasha). Sekar sebagai orang tua tunggal karena ditinggal suami harus bekerja menjadi buruh cuci untuk menghidupi keluarganya. Sementara Nur, punya impian dan cita-cita mengeluarkan Ibunya dari himpitan ekonomi. Nasib mempertemukan Nur dengan Dian (Fedi Nuril) yang bekerja sebagai prospektor MLM. Dian memberikan inspirasi bagi Nur untuk mulai mengejar mimpinya. Awalnya menjadi pelayan bar adalah pilihan utama, karena uang yang di dapat pasti dan teratur. Namun sejak Nur menemukan jalan di bisnis MLM, maka Nur memilih untuk berhenti jadi pelayan bar.

Jatuh-bangunnya Nur dalam menjalani bisnisnya terekam baik. Termasuk keluhan Nur yang bosan di lecehkan dan dihina karena pekerjaannya. Suka duka menjadi prospektor MLM pun digambarkan dengan dialog cerdas. Saat Dian berselisih dengan Nur, terlontarlah sindiran bagi orang-orang yang anti MLM seperti saya:"Dari pertama kita ketemu, kamu selalu nyuruh aku pergi. Tapi apa pernah aku mau Nur? Enggak. Ada juga kamu yg pergi duluan." Begitulah, kalau ada prospektor MLM (dan marketing lain) datang, saya memilih pergi duluan...Apa beda MLM dengan Money Game? Edukasinya juga di berikan dalam film ini.

Tapi film ini tidak sekedar MLM. Tidak suka pada MLM dengan menonton film yang dibiayai MLM adalah dua hal berbeda. Meski saya tidak suka MLM, tapi saya menikmati film ini sebagai potret realitas kerasnya hidup di Jakarta. Kawasan pinggiran yang padat, lingkungan yang berisi bermacam manusia, dari rentenir sampai yang menjadi PSK. Hidup jadi satu di tengah belantara kota.

Kredit terbaik saya berikan kepada Hanung dan Faozan Rizal sang penata Fotografi yang dengan jeli meng-eksplor padatnya pemukiman dengan bagus. Eksplorasi gambar di ruangan dengan menggunakan cermin membuat set terlihat lega. Dan ini adalah kunci bagaimana Hanung menghadirkan gambar-gambar indah di dalam ruangan sempit. Tata cahaya yang natural juga membuat film ini nyaman di tonton.

Soal akting, saya suka aktingnya Acha Septriasa, sangat suka! Terlebih waktu scene Nur minta maaf kepada Sekar, ibundanya..wah..itu best scene film ini. Dua karakternya menyatu plus set yang mendukung menjadikan saya terpaku menyaksikan adegan itu. Teringat ibu saya jadinya...Sementara Fedi Nuril terlihat semakin lekat dengan karakter pemuda pintar, polos dan lugu. Tapi karakter Dian ini polos-nya lebih baik daripada Fahri di AAC. Dan gaya Fedi memprospek orang sangat MLM. Ayu Dyah Pasha juga menghadirkan karakter Sekar sebagai sosok ibu yang bertanggung jawab terhadap anaknya, pekerja keras dan pantang mengeluh.

Film ini saya nikmati, logika bertuturnya runut dan masih bisa di terima otak saya yang pas-pasan ini. Meski ada beberapa adegan yang janggal, tapi itu tidak mengurangi inti cerita. Kalau saya bilang, beginilah seharusnya film Indonesia dibuat..Semuanya tidak ada yang mudah, tapi kalau dikerjakan serius, hasilnya bagus!

Kredit Foto: http://www.menebusimpian.com/

Friday, April 16, 2010

cin(T)a - 2009


Beberapa waktu lalu, saya membeli DVD rilisan Jive Collection. Film ini memang sudah saya tunggu rilis DVDnya, sebab saya tak sempat menyaksikannya di bioskop maupun roadshow-nya. cin(T)a, judul yang sederhana namun menyimpan banyak makna. Pemilihan cara menulis pun menyiratkan banyak tafsiran.

cin(T)a berkisah tentang pertanyaan tentang dunia dan Tuhan serat ke-Tuhan-an. Dua karakter, Cina dan Annisa di ceritakan datang dari latar berbeda. Cina (Sunny Soon), mahasiswa arsitektur yang baru masuk, berasal dari Tarutung, beragama Kristen dan keturunan Tionghoa. Sedangkan Annisa (Saira Jihan), mahasiswi arsitektur senior yang sibuk dengan kegiatan ke-artis-annya sehingga terancam DO, berangkat dari keluarga broken home, berasal dari etnis Jawa dan beragama Islam. Dua karakter ini nyaris terus menerus berada dalam satu frame.

Keduanya jatuh cinta karena seringnya mereka bersama. Meski Annisa awalnya tak menghendakinya karena perbedaan keyakinan. Sementara Cina lebih pragmatis dengan menempatkan persoalan perbedaan keyakinan sebagai sesuatu yang tidak serius. Sepanjang film, kita akan disuguhi banyak dialog-dialog filosofis yang mempertanyakan persoalan ke-Tuhan-an. Saking mendominasinya dialog tentang keyakinan ini, maka sangat lah tepat jika tagline GOD is our Director layak di cantumkan.

Dialog-dialog cerdas di gambarkan dalam ruang sinema yang apik dan tidak membosankan. Sesekali di selingi berbagai simbol. Cina di gambarkan sebagai orang yang sangat suka buah apel. Bagi saya, apel di film ini seperti melambangkan kemaskulinan, terlihat lelaki tapi juga di sukai perempuan. Sosok Cina berusaha menyatu ke dalam karakter itu. Belum lagi keberadaan seekor semut kecil yang melambangkan betapa kecilnya sosok makhluk di hadapan (masing-masing) Tuhan-nya.

Dialog-dialog cerdas terekam dalam berbagai frame. Meski sedang bermain di taman, Cina selalu menonjolkan sifat yang permisif terhadap perbedaan keyakinan. Sementara Annisa dengan pengetahuannya terlihat selalu mempertanyakan eksistensi keagamaan bagi manusia jika agama dijadikan salah satu pmicu konflik. Sampai-sampai perdebatan terjadi melebar dari urusan Israel-Palestina sampai Cina yang ingin mengajak Annisa ke Ambon yang menurut Cina agama dijadikan pemicu konflik. Perdebatan sensitif ini pun ditutup dengan permintaan Annisa untuk tidak memulai konflik yang sama dengan dia.

Belum lagi misalnya, ketika Annisa secara cerdas mempertanyakan kenapa Allah menciptakan banyak agama jika Dia hanya ingin disembah dengan satu cara oleh umatNya. Atau dengan jenaka, pada scene yang dihapus (ada di bonus features DVD), ketika Annisa akan maju sidang dan memohon doa restu, Cina memintanya untuk berdoa pada Tuhan-nya. Masih banyak lagi dialog yang sebenarnya lebih cocok dinikmati bersama para penikmat filsafat. Meski demikian, film ini tidak berusaha menggurui dan berusaha menghadirkan percakapan normal tapi berisi.

Film ini dengan sangat cerdas menempatkan hanya Cina dan Annisa dalam frame. Cast lainnya tidak dimunculkan secara jelas. Sejak pembukaan film, Samaria Simanjuntak sebagai Sutradara dan M. Budi Sasono sebagai Penata Fotografi, sangat konsisten menyembunyikan wajah para figuran dan extra cast. Jika merunut pada pendapat keduanya, pemilihan frame seperti ini bukan tanpa alasan. Mereka berusaha menunjukkan bahwa ketika sedang jatuh cinta, maka dunia serasa milik berdua. Itu yang sedang terjadi pada Cina dan Annisa. Dalam satu sesi diskusi, mereka juga mengakui, bahwa frame-frame yang mereka pilih terinspirasi dari serial animasi Tom & Jerry.

Untuk memunculkan sisi romantis misalnya, Samaria menggambarkan adegan Annisa berwudhu yang dilihat Cina dengan efek Slow Motion, sehingga rasa cinta terbangun tanpa harus bermanja-manja dengan kata dan permainan watak. Bagi saya, itu adalah best scene di film ini.

Selain Babi Buta Yang Ingin Terbang (2009), buat saya, cin(T)a, memperlihatkan dengan nyata persoalan-persoalan yang sebetulnya sangat sensitif. Persoalan etnis Tionghoa-Jawa, Islam-Kristen, perkawinan beda agama, konflik antar umat beragama dan problem anak muda. Dalam salah satu dialog, Cina bahkan mengkritik hubungan Islam-Kristen dalam tataran Politik. Cina menyebut bahwa dia tidak cukup Islam untuk menjadi pemimpin daerahnya sendiri.

Hubungan cinta keduanya bahkan cenderung tidak umum, meski ada, yaitu jatuh cintanya Annisa si mahasiswi senior tingkat akhir kepada Cina, mahasiswa baru. Tentunya dari segi usia, misalnya, saya bisa saja menebak kalau Cina lebih muda daripada Annisa. Sepanjang film sendiri, hanya Annisa yang dengan jelas menyebutkan usianya, 24 tahun. Cina? Mungkin penonton dibiarkan menebaknya...

Ah, buat saya, ini film Indonesia terbaik dalam satu dekade terakhir dan sangat layak (harus malah!) untuk ditonton...Mari menonton film-film Indonesia berkualitas dan mulai tinggalkan film-film horor semi porno..Maju terus film Indonesia!!!

kredit foto: http://www.godisadirector.com/En/home.html