“Media kan harusnya berikan fakta, bukan fuck you..”- Ucup.
Kutipan menarik saat Ucup,
lulusan baru sarjana Komunikasi sebuah kampus di Bandung saat melangkahkan
kakinya berburu pekerjaan menjadi jurnalis di sebuah stasiun televisi berita.
Menjadi jurnalis, terutama jurnalis televisi, memang menjadi godaan profesi
terbesar bagi lulusan baru (fresh graduated). Blink-blink-nya lebih menggema ketimbang blong-blong-nya. Magnet prestise bekerja menjadi jurnalis menarik
sejumlah lulusan baru untuk antri mengikuti proses seleksi. Sebagian
tertampung, sebagian lagi harus melupakan mimpinya menjadi wartawan.
Film dokumenter Dibalik Frekuensi
hasil kerja Ucu Agustin dan kawan-kawan sedikit memotret blong-blong-nya menjadi jurnalis di sebuah media yang menggunakan
frekuensi milik publik: Televisi. Lewat Luviana yang minta dipekerjakan kembali
di MetroTV, Ucu mengajak para jurnalis (muda) untuk sadar kelas. Pendekatan
kelasnya sederhana, bahwa selama dia tidak memiliki modal produksi dan jadi
bagian dari industri, maka dia termasuk kelas buruh.
Kasus Luviana sendiri menyita
perhatian para aktivis kebebasan berserikat. Luviana yang pada awalnya “hanya”
mempertanyakan status job-desc dan kesejahteraan karyawan, berbuntut panjang
dengan berujung pada pemecatan. Meski apa yang diperjuangkan Luviana adalah
bukan semata untuk dirinya sendiri, tapi juga tindakan konkrit gerundelan para
buruh media. Tindakan konkrit Luviana inilah yang mengakibatkan dia kehilangan
pekerjaannya. Bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Luviana
berhadapan dengan pemilik dan memperjuangkan hak-haknya.
Fenomena lain yang direkam Ucu
adalah bagaimana sebuah stasiun televisi terkooptasi dengan kepentingan pemiliknya.
Jurnalis yang bekerja dipaksa untuk mengangguk pada keinginan pemilik. Sadar
bahwa televisi (bisa) menjadi corong kampanye, pemilik media TV akan
menggunakan secara maksimal keberadaan layarnya di ruang-ruang privat
penontonnya di rumah. Framing dan berita yang dibuat newsroom harus
mencerminkan kepentingan pemilik yang notabene juga ketua partai dan punya
kepentingan tertentu. Bukan kebetulan pada isu ini, Ucu memunculkan bagaimana
persaingan media dalam menentukan framing berita antara MetroTV dan TVOne. Dan disini, media seharusnya
memberikan fakta seperti yang diingat Ucup di atas.
Kritik news framing pada dua
stasiun TV berita ini terlihat pada saat keduanya memotret perjuangan Heri
Suwandi. Heri Suwandi dengan gagah berani dan langkah tegap berjalan kaki 827 km
hampir sebulan dari Porong, Sidoarjo menuju Jakarta. Ditemani Harto Wiyono,
Heri ingin menyampaikan keluh kesah pengungsi Lumpur Lapindo langsung kepada Presiden
SBY dan Bakrie. Harto Wiyono sendiri juga merekam aktivitas perjalanan keduanya
menggunakan kamera video telepon seluler. Melalui Heri Suwandi, kedua TV berita
saling serang opini dan framing pemberitaan.
Framing pemberitaan Heri Suwandi
ini tidaklah lepas dari kebijakan pemiliknya masing-masing. Terutama karena
kedua pemilik juga menjadi politisi dan punya ambisi kepentingan tertentu. Tekanan
pada newsroom juga menguat seiring dengan pencitraan sang pemilik. Pada satu
titik, jurnalis peliput yang di lapangan lah yang sebenarnya dirugikan.
Terlihat pada footage dokumenter ini bagaimana Heri Suwandi mengusir tim
liputan dari TVOne, dan sangat terbuka dengan jurnalis lain.
Perang opini terjadi. MetroTV
memberitakan gagah beraninya Heri Suwandi dalam menagih ganti rugi yang dialami
korban Lumpur Lapindo, sementara TVOne menelanjangi siapa Heri Suwandi
sebenarnya. Silang sengkarut framing pemberitaan mendadak berhenti saat Heri
Suwandi memohon maaf kepada keluarga Bakrie di sebuah acara siaran langsung di
TVOne. Sejak itu Heri Suwandi menghilang di telan bumi.
Banyak orang kemudian
mempertanyakan motif Heri Suwandi berbuat demikian: jalan kaki Porong-Jakarta
dan “menantang” Bakrie untuk kemudian menangis di televisi. Bahkan rekan
seperjalanan, Harto, juga merasa dibohongi. Begitu juga penggiat advokasi
korban lumpur yang lain. Berhadapan dengan pemilik modal yang juga politisi
tentu meninggalkan catatan dan tandatanya besar. Disinilah Ucu Agustin memotret
pengkhianatan akan sebuah perjuangan. Footage-footage video yang dimiliki Harto
menjadi artefak berharga akan sebuah konsistensi perjuangan melawan pemilik
media. Footage-footage milik Harto, ditambah dengan rekaman pertemuan Luviana
dengan Surya Paloh menjadi sumber visual penting dokumenter ini.
Konsistensi dan pengkhianatan
adalah dua isu besar yang digambarkan dalam film ini. Entah dengan siapapun
rakyat kecil dihadapkan, ujian terbesar adalah sejauh mana perjuangan itu
mendapatkan kemenangannya sendiri. Heri Suwandi, mungkin sudah mendapatkan
kemenangannya dengan mengkhianati kata-katanya sendiri saat berjalan kaki.
Sementara Luviana belum mendapat kemenangan besarnya, setelah
kemenangan-kemenangan kecilnya kembali diingkari pemilik modal.
Dibalik “cerahnya” profesi
jurnalis di kalangan anak muda, tak sedikit pula yang menganggapnya hanya
sebuah profesi. Profesi kelas menengah yang identik dengan akses dan
keterbukaan informasi dari sumber pertama. Sejatinya, jurnalis sama seperti
profesi yang lain: Selama dia tidak memiliki modal produksi, dia juga bagian
dari buruh. Buruh media, sebagaimana buruh pada industri yang lain, juga
mengalami ketertindasan dan ketidakadilan dari pemilik modal. Kita lama dibuai
dengan analogi buruh sebagai “idiom kiri”, “komunis” dan sebagainya. Jika
alergi dengan kata buruh, gunakan saja Kelas Pekerja, atau kalau mau lebih
frontal, adopsi kata lain menurut versi band metal Suckerhead: Budak Industri.
Film dokumenter ini menjadi film
penting yang bagus. Dengan durasi 144 menit, mampu bertutur dengan baik
bagaimana frekuensi digunakan para pemilik stasiun TV (berita) melalui
perjuangan buruh (Luviana) dan Heri Suwandi (Korban Lapindo[?]), tentang
konglomerasi media dan tipu dayanya.. Ia bercerita bukan melulu soal
kebohongan, tetapi juga hak manusia. Isu-isu tentang kesejahteraan buruh media
dan perilaku manajemen menjadi titik utama cerita dokumenter ini. Sebagai
bagian dari buruh media, saya merasa diingatkan dan ditohok bolak-balik oleh kombinasi pukulan
telak di wajah.
Dibalik itu semua, masih banyak
jurnalis yang masih berkutat dengan idealisme klasik jurnalistik, bahwa berita
dan ruang redaksi harus bebas kepentingan. Buat saya, dokumenter ini WAJIB
TONTON untuk para jurnalis, calon jurnalis, lulusan baru sarjana (komunikasi)
yang ingin jadi jurnalis, pura-puranya jurnalis dan segenap buruh media
lainnya. Meski dengan fakta yang dikemas dalam dokumenter ini, peminat profesi
jurnalis (televisi) tentunya tak akan surut. Gegap gempita lampu sorotnya lebih
menguat. Pengantrinya panjang, “sampai Tanjung Priok…”, kata sebuah stasiun
televisi… Siap antri?
*kredit foto: http://www.facebook.com/media/set/?set=a.171227513020721.55553.168757719934367&type=3*