Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Thursday, January 25, 2007

Menikah = Obsesi Masa Depan??

Dalam masa-masa penuh kejenuhan, sebuah surat elektronik terkirim masuk ke dalam kotak surat elektronikku. Seperti biasa, langsung ku baca, karena kebetulan memang sedang online. Dan si pengirim juga sedang online pula, jadi bisa langsung ku balas suratnya.

Kali ini si pengirim surat mengirimkan suratnya dengan judul "Membebaskan Diri dari Obsesi Menikah". Tergelitik, meminjam istilah seorang teman yang peneliti, aku pun mulai membaca kata demi kata. Isinya tentang perjalanan hidup seseorang yang kemudian di terjemahkan menjadi sindrom. Di awali dengan kisah hidup seorang wanita cerdas, berpendidikan tinggi hasil didikan luar negeri, dan pulang ke negari asalnya hanya untuk menemukan pasangan hidup. Perjalanan hidup wanita ini kemudian tidak begitu baik, bahkan pernikahan yang menjadi cita-citanya kala memutuskan pulang kerumah, tidak berjalan dengan baik. Pada akhir cerita, si wanita kemudian di kritik sebagai orang yang salah jalan. Mungkinkan??

Well, beberapa orang memikirkan pernikahan adalah stasiun berikutnya dalam perjalanan menyusuri rel kehidupan. Ada yang memang menikah muda, bahkan sangat muda, ketika rel kehidupannya tidak banyak menghampiri stasiun kehidupan. Ada yang nikah ketika sudah dianggap uzur, karena memang stasiun itu belumlah tiba. Inilah perjalanan hidup seseorang, yang kadang menurut kita sendiri tidak berwarna.

Dalam hidup, stasiun-stasiun itu hadir bahkan sejak kita lahir. Sejak menghirup udara bumi, stasiun berikutnya adalah menjadi anak yang lucu. Kemudian stasiun berikutnya hadir tanpa disadari bahwa kita singgah di stasiun Remaja. Stasiun Transisi dari Remaja menuju dewasa penuh lika-liku dan jalan yang bercabang. Jalan manapun yang diambil, kita akan tiba jua di stasiun dewasa yang memenuhi gerbong kereta kehidupan kita dengan sejuta pertanyaan.

Stasiun-stasiun setelahnya bisa ditebak. Kala usia telah dianggap matang, pernikahan adalah sebuah tujuan berikutnya. Kemudian punya anak, dan di masa depan, stasiun abadi telah menunggu kita. Hanya saja orang memang melalui stasiun-stasiun itu dengan jarak, jalur, dan lajur berbeda. Ketika sampai pada stasiun pernikahan, si wanita bisa saja telat beberapa waktu, atau malah ia mempercepatnya dengan melewati berbagai stasiun tanpa pernah berhenti sejenak dan menikmati kehidupannya. Akibatnya, menurutku, stasiun abadi akan lebih cepat tiba ketimbang orang yang memutuskan untuk singgah sejenak. Selayaknya kereta api di Indonesia, ada eksekutif dan ekonomi, orang yang mempercepat jalannya kereta kehidupannya akan lebih cepat menyinggahi stasiun abadi ketimbang ekonomi yang bergerak lambat "menikmati" perjalanan.


Beberapa temanku juga demikian. Bahkan teman yang mengirimkan surat ini juga terobsesi dengan pernikahan. Dia juga menyatakan dengan sangat terus terang dalam berbagai macam kesempatan. Seolah-olah hidupnya tinggal beberapa stasiun lagi kemudian tiba pada stasiun akhir, dan menikmati hidup dari kereta tanpa pernah singgah.

Beberapa temanku juga sudah menikah. Meski ini tidak merisaukan, tetapi cukup memberi pengertian dan menyadarkan aku, bahwa cepat atau lambat, stasiun itu akan juga tiba. Menikah pun tidak lagi menjadi obsesi, tetapi bagian dari perjalan kereta kehidupan.

Thursday, January 11, 2007

Dance With Love

Hari ini aku ingin menari
bersama bunga dan angin sepoi dari puncak gunung
juga dengan hangatnya matahari pagi.

Hari ini aku ingin menari
dengan bualan dan omongkosongku selama ini
semua tentangmu,
tentang kita,
tentang kasih sayang,
juga tentang tentangan-tentangan dalam hidup.

Aku ingin sekali menari
bersama bayangmu di sini

Tidakah kau ingat waktu itu?
Sayang, detik jam selalu menghujam
tanpa kenal belas kasih
apalagi cinta.

Detik jam yang menghujam itu tak bisa di buat mundur
tapi aku ingin mengulangnya
dan menari bersamamu
aku ingin mengulangnya dalam pikiran
dan tersimpan rapat di palung terdalam jiwa ini

Andai kau mendengar,
aku ingin menari
bersamamu...

Resolusi

Tahun baru...apa ya istimewa setiap pergantian tahun yang selalu diwarnai perayaan yang nyaris sama dari seluruh penjuru bumi? Rasanya tak ada, kecuali resolusi pada diri sendiri dan keyakinan untuk menjalankan resolusi itu. Tak lebih dari sekedar do'a yang sering kita panjatkan pada Sang Pencipta. Perayaan itu cuma "kulit" saja, seolah kita akan menuju era yang kita sendiri sesungguhnya tidak mengerti kenapa kita harus menjalaninya. Yang penting resolusi dan cita-cita pada tahun ini yang masih 300-an hari sedapat mungkin tercapai. Lantas apa resolusiku?

Tak banyak, nyaris tak ada. Resolusiku sengaja kuciptakan, akan kuucap ketika pikiran dan perasaan yang selama ini menghantui bisa membuncah dalam kesukacitaan. Sukar memang mencapai kesukacitaan itu, namun pada kodratnya, manusia hendaknya terus berusaha dengan selalu mempertimbangkan untung rugi. Jangan membabibuta, bung!! Kita hidup dalam sebuah wacana pemikiran yang seharusnya disesaki oleh benih-benih kesabaran penuh makna dan cinta. Perihal yang satu ini memang identik dengan hati. Tetapi tanpa pemikiran, sampai dimana kata ini akan bersemayam?

Resolusi tahun ini lebih kepada pembenahan hidup, dan itu selalu dilakukan setiap orang bukan? Tahun ini akan begini, akan begitu, ingin ini-itu, mau itu-ini. Jika tidak terlaksana, tinggal bikin resolusi lagi di awal tahun depanya. Itu juga kalau kita masih diberi umur panjang oleh Yang Maha Kuasa. Maka dari itu, resolusi hendaknya jadi acuan, tetapi ternyata perjalanannya selalu berbeda. Pasrah bukanlah jawaban, hanya tindakan yang bisa menentukan.

Resolusi itu bernama cinta...