Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Wednesday, May 02, 2012

Hi5teria (2012): Sekedar Histeria Omnibus


Belakangan kata Film Omnibus menjadi trend di industri film Indonesia. Omnibus merujuk pada kumpulan film pendek yang dirangkai dalam satu kesatuan film atau tema.  Paling tidak ada 3 film omnibus bergenre horor yang pernah dirilis di Indonesia. Pertama ada Faces of Fear (Takut) yang rilis pada 2008. Takut berisi 6 film pendek bergenre horor yang kemudian melambungkan Dara (The Mo Brothers).  Takut di besut oleh sutradara-sutradara yang sudah memiliki jam terbang tinggi di dunia film. Sebut saja Riri Riza dan Rako Prijanto.

Omnibus kedua ada Fisfic 6 vol. 1 yang rilis 2011. Omnibus ini lahir lewat kompetisi Fisfic yang digagas Joko Anwar dan Ekky Imanjaya. Peminatnya membludak, tetapi para penggagas harus memilih 25 naskah cerita untuk di-workshop-kan dan kemudian memilih 5 naskah terbaik untuk di produksi. Belakangan, produksi filmnya bertambah satu menjadi 6. Keenam film pendek horor ini kemudian tayang pada event tahunan INAFF pada November 2011. 

Omnibus horor terbaru lahir lewat Hi5teria yang rilis 2012. Berisi 5 film pendek dari, katakanlah, sutradara muda berbakat. Berbeda dengan omnibus pendahulunya yang hanya diputar pada INAFF, Hi5teria sempat tayang di jaringan bioskop regular. Baiklah, mari bedah satu-satu segmentasi filmnya.

Di film kesatu ada PASAR SETAN yang dibesut Adriyanto Dewo. Kisah tentang adanya keramaian pasar demit di tengah gunung memang menjadi mitos para pendaki gunung Indonesia. Mengambil latar Gunung Lawu yang memang terkenal dengan mistisnya, Adriyanto menggambarkan bagaimana Sari (Tara Basro) dan Jaka (Egy Fadly) terpisah dan saling mencari. Sampai akhirnya Sari bertemu Zul (Dion Wiyoko). Pertemuan yang mengantar Zul menjadi bagian dari mitos pasar setan. Bagi orang awam yang tak pernah bersentuhan dengan mitos alam bebas, Adriyanto Dewo cukup baik bertutur tentang legenda Pasar Setan dan hilangnya para pendaki yang tak pernah ditemukan. Garapan Pasar Setan di Hi5teria bahkan menjadi yang terbaik di omnibus ini. Untuk sebuah penggambaran mitos di gunung-hutan, Pasar Setan jauh lebih baik daripada Pencarian Terakhir (2008) besutan Affandi Abdul Rahman.

Film kedua masih berkisah soal legenda lokal. WAYANG KOELIT garapan Chairunnisa dan Adi Baskoro berkisah tentang seorang wartawan (?) asing yang dating meliput wayang kulit di sebuah desa. Liputan yang kemudian membawa Nichole (Maya Otos) kepada situasi yang membahayakan dirinya. Sebagai Jawa misalnya, efek mistis yang didapat dari pementasan wayang kulit yang didalangi perempuan sebenarnya cukup terasa. Tapi disain produksi Wayang Koelit terlalu meniru banyak film horor lain, dan itu di adopsi blak-blakan tanpa modifikasi sama sekali. Paling tidak, jika pernah menonton Insidious (2010) dan Bram Stroker’s Dracula (1992) besutan Francis Coppola akan terasa peniruan terornya.

Film ketiga berkisah tentang penulis metafisik yang tak percaya akan keberadaan hantu secara akademis, justru mendapat sejumlah terror menakutkan. KOTAK MUSIK besutan Billy Christian mengambil latar urban. Dunia supranatural dan akademis memang menjadi dua kutub yang seolah saling berseberangan sampai salah satunya bisa dijelaskan melalui logika. Farah (Luna Maya) adalah orang yang sedang mengalami itu. Setelah melakukan penelitian anti-supranatural  dan menemukan kotak musik, Farah diteror sosok anak kecil yang terus menerus mengajaknya bermain. Sebagai film pendek horor, Kotak Musik cukup memberi faktor kejutan dan kekagetan bagi penonton. Dan lagi, tampaknya Luna Maya sudah siap berpakaian sexy lagi.

Berikutnya ada PALASIK, yang mengambil legenda Minang tentang manusia yang memiliki ilmu hitam. Menurut legenda, Palasik mengambil janin bayi sebagai makanan utamanya. Tujuannya agar ia semakin sakti. Kepercayaan Minang, palasik juga bisa turun temurun, apabila orangtuanya palasik, anaknya kemungkinan besar juga mewarisinya.  Pada film pendek ini, Palasik berkisah tentang satu keluarga yang sedang berlibur di sebuah vila. Liburan yang membawa petaka bagi Ibu Hamil (Imelda Therinne). Sejak sampai di vila, ia merasa ada sesuatu yang salah dengan vila itu. Terlebih ada satu ruangan yang selalu tertutup. Ruangan yang menyimpan kisah suram masa lalu. Sayangnya, lewat tangan Nicho Yudifar, Palasik terlalu kasar meski usaha untuk menghadirkan sosok kepala terbang boleh diberi jempol. Tak ada hal yang membuat penonton merasa sebuah ketakutan mencekam layaknya sebuah horor.Palasik akhirnya hanya menjadi sebuah kisah legenda yang tidak digarap dengan baik.

Terakhir, LOKET. Film ini pada awalnya nyaris berupa monolog film yang bertumpu pada satu karakter. Awalan yang mencekam terbangun baik lewat karakter Penjaga Loket parkir yang sepi. Teror yang didapat mulai dari lampu yang mati sendiri, suara handy talkie sampai portal parkir yang macet. Tak itu saja, Ichi Nuraini si Penjaga Loket, juga diteror kemunculan dirinya sendiri dan perempuan tua. Bangunan monolog tunggal ini memuncak saat karakter-karakter yang muncul kemudian menjelaskan suatu peristiwa pembunuhan. Harvan Agustriansyah dalam durasi singkat cukup bisa menyajikan teror-teror itu ke penonton.

Secara keseluruhan, Hi5teria menjadi sekedar omnibus horor, sekedar ikut trend film pendek. Bukan menawarkan hal baru, Hi5teria malah terjebak pada peniruan-peniruan atas film horor yang lain. Untuk urusan mencekam, Hi5teria masih jauh dibawah Fisfic 6, bahkan tak bisa pula disejajarkan dengan TAKUT. Meski demikian, tema lokal dan urband legend menjadi kredit positif bagi sebuah film horor Indonesia. Tak perlu hantu berdarah-darah yang wujudnya aneh bin ajaib seperti film-film horor Indonesia yang murahan itu, Hi5teria cukup memanfaatkan kisah-kisah mistis yang beredar di masyarakat senormal mungkin. Tak terlalu baik, tapi juga bukan berarti gagal.

*kredit foto:http://id.wikipedia.org/wiki/Hi5teria*

Tuesday, May 01, 2012

Postcard From The Zoo (2012): 4 Babak Hidup Manusia versi Kebun Binatang

Apa yang dilihat orang di Kebun Binatang? Kebanyakan sebetulnya mereka, orang-orang itu tidak menonton hewan yang dikurung disana, tetapi justru orang-orang inilah yang ditonton para hewan. Atau malah sejatinya adalah saling menonton, seolah keduanya saling becermin dan menaksir diri masing-masing. Tetapi karena menurut kodratnya hanya manusia yang memiliki akal- dan dengan demikian bisa menaksir ke-akal-annya- maka manusia bisa lebih bebas menafsir (perilaku) hewan. Edwin ingin penonton menafsir hewan dan kebun binatang menurut versinya.

Ada empat babak kehidupan manusia yang berusaha disampaikan Edwin lewan personifikasi Kebun Binatang. Yang pertama adalah Zoo yang secara sederhana berarti tempat memelihara sekaligus mempertunjukan hewan(liar) kepada publik. Definisi yang umum, tapi tak sedikit pula yang mengerti bahwa zoo juga berarti situasi keterasingan dan kebingungan. Lana kecil (Klarysa Aurelia Raditya) berlari kecil di dalam kebun binatang pada suatu pagi. Ia berteriak mencari ayahnya. Siapa ayahnya sepertinya tak penting bagi penonton, tapi scene awal film ini cukup memberi gambaran penonton bahwa manusia memang dilahirkan terasing dan dalam kondisi kebingungan.

Sampai suatu saat, Lana kecil tumbuh dewasa (Lana dewasa diperankan Ladya Cheryl) dan menjadi bagian “liar” Kebun Binatang. Lana ikut pula mengurus hewan-hewan di sana. Dari empat hewan yang dijadikan simbol, Edwin menggiring Lana untuk jatuh cinta pada Jerapah. Saat dewasa inilah, ada pengumuman larangan “penghuni liar” yang ada di kebun binatang untuk pindah. “Paksaan” pindah ini mengingatkan pada konsep hijrah atau merantau (dalam budaya Minang). Pada titik ini, kebun binatang memang diperuntukan bagi hewan. Inilah tahapan kedua babak Kebun Binatang: Endemic, yang sesungguhnya bermakna lingkungan asli. Ya, kebun binatang memang lingkungan yang diperuntukan bagi hewan, bukan penghuni liar semacam Lana.

Untuk sejenak, Lana kehilangan teman sampai ia bertemu Pesulap berkostum koboi (Nicholas Saputra). Bersama Pesulap Koboi ini, untuk pertama kalinya, Lana Dewasa bersentuhan dengan dunia luar kebun binatang. Lana memasuki tahap relocation. Ya, manusia berpindah ke tempat baru dan berusaha eksis di dunia yang baru. Lana yang lugu mengikuti Pesulap Koboi hingga kemudian terjebak di dunia prostitusi terselubung. Berkat perpindahan ini, Lana lupa akan rumahnya: Kebun Binatang.

Lewat istilah translocate, Lana kembali berpindah ke kebun binatang. Kali ini ia berusaha menggapai cita-citanya sedari kecil yang sangat sederhana. Cita-cita masa kecil kadang bisa membekas dan menuntun kita kembali ke rumah.

Empat babak kehidupan Lana ini memang penuh simbol. Tapi pada titik tertentu, Lana adalah cerminan keterasingan, kesendirian dan oleh karenanya, Lana yang polos menjadi kesepian dan asik dengan dunianya sendiri. Kadang tanpa diminta, Lana bisa lancar berbicara soal hewan-hewan di Kebun Binatang, termasuk soal Leopard saat ia melayani pelanggan di Planet Spa. Lana juga bisa asik bercerita tentang jerapah, yang juga kesepian karena menjadi satu-satunya Jerapah di Kebun Binatang, meski pengunjung tampak tidak tertarik dengan cerita Lana. Lana yang terasing direkam apik oleh Sidi Saleh yang begitu baik merekam Lana yang kesepian di tengah keramaian, seperti juga para hewan di Kebun Binatang.

Berbeda dengan film panjang pertama Edwin, Babi Buta Yang Ingin Terbang (2008), sesungguhnya Postcard From The Zoo terasa lebih ringan sekaligus rumit. Kalau pada Babi Buta Yang Ingin Terbang kita diberi latar belakang karakter agar bisa mengikuti jalan cerita dengan mudah, maka pada Kebun Binatang, Edwin ingin penonton menafsir sendiri simbol-simbol yang ada. Tak ada latar sejarah mengapa Lana bisa ditinggalkan begitu saja di Kebun Binatang sedari kecil, atau motif yang membuat Lana terdampar di Planet Spa, atau kenapa Pesulap Koboi tiba-tiba menghilang begitu saja. Kerumitan inilah yang bisa membuat penonton keluar dari bioskop dengan bertanya-tanya. Bisa saja itu tidak penting untuk membuatnya terasa ringan dan tidak bertele-tele tentang latar belakang agar penonton tidak terjebak pada tafsiran Edwin. Atau kalaupun persoalan teknis penceritaan di film ini malah bikin tambah mumet, buat saya obatnya cuma acting Ladya Cheryl sebagai Lana yang lugu cukup membuat gemas dan memaksa saya tetap duduk di kursi.

Apa yang orang cari di Kebun Binatang? Kalau saya sih mencari Ladya Cheryl berkostum Leopard dengan nomor dada 33…
*sumber gambar: majalahcobra.com*