Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Wednesday, January 27, 2010

Negeri Mafia

Berulangkali negeri ini diramaikan dengan berita tentang mafia. Mulai dari mafia kasus, mafia tender sampai mafia narkoba. Yang terparah adalah maraknya mafia hukum yang mencakup mafia kasus dan mafia peradilan. Banyak pihak terlibat disini, ya penegak hukum, jaksa, pengacara, penjahatnya.

Mafia bukanlah terminologi asing di dunia modern. Setidaknya dunia mengenal mafia dari film-film Hongkong. Wilayah yang masuk ke dalam negara China ini mempunyai barisan rapi mafia lokal, Triad. Meski lokal, wilayah operasinya bisa mencapai luar batas wilayah negaranya. Produknya pun beragam. Kemudian ada Jepang yang memiliki jaringan penjahat bertato, Yakuza. Modus dan produk kejahatannya pun setali tiga uang dengan Triad Hongkong. Selain menguasai dunia bawah tanah, Yakuza dan Triad juga menguasai pemerintahan melalui suap dan korupsi. Tetapi diantara semua mafia, yang paling terkenal dan rapi jaringannya adalah Mafia Italia. Para Don ini tersebar mulai dari wilayahnya Sicillia di Italia, sampai New York di Amerika Serikat. Don-don yang di film-film digambarkan bertubuh tambun dan menghisap cerutu ini menguasai usaha ilegal dan semi ilegal dari hulu ke hilir, dari pra produksi sampai pemasaran, dari narkoba sampai real estate. Belum lagi mafia (kartel) obat bius khas Amerika Selatan, seperti Pablo Escobar dari Kolombia yang menguasai jaringan obat bius di seluruh dunia. Itu yang kelas kakap. Yang kelas teri sampai kecebong jumlahnya tentu lebih banyak.

Para mafia ini, apapun jenis usaha dan kebangsaannya, terikat dalam satu klan. Kelompok satu dengan yang lain terikat dalam satu ikatan kesamaan nasib. Mereka berorganisasi, mengelola setiap inti usahanya agar lebih menghasilkan. Kelompok-kelompok kecil bergabung menjadi satu kelompok besar, dan kelompok besar bergabung menjadi kelompok yang lebih besar. Selain mengamankan wilayah kekuasaan, mereka terutama melindungi diri dan kelompoknya dari gangguan klan lainnya. Persaingan a la rimba raya, yang terkuat yang menang, menjadi daya tarik utama terbentuknya sebuah klan. Dalam setiap pertempuran antar klan, seringkali pihak yang kalah bergabung dengan klan yang menang. Sehingga dengan demikian, klan tersebut menjadi lebih kuat dan disegani. Selain itu, bersatunya kelompok mafia dalam klan semakin mempersempit peluang hukum untuk mengungkapnya.

Yang menarik dari klan-klan mafia ini adalah adanya demokrasi, adanya perdebatan menarik tentang banyak hal yang menyangkut kelangsungan hajat hidup kelompoknya. Di dalam film-film tentang mafia, jarang sekali di temukan adanya gambaran pengambilan keputusan sepihak. Semua masalah dikomunikasikan, dibicarakan dengan sesama anggota klan. Sepanjang itu menyangkut kepentingan klan, perdebatan sampai bagian terkasarnya pun tak menimbulkan dendam...kecuali jika salah satu anggota klan berkhianat, maka bisa dipastikan karir bernafasnya selesai di bumi. Setiap anggota klan juga punya kode etik tertentu yang mewajibkan mereka saling menghormati anggota klan yang lain. Jika tidak, ya resikonya itu, mati.

Untuk melanggengkan keberadaan mafia ini, tak jarang mereka menyuap pejabat pemerintah. Terutama polisi dan politisi. Institusi kehakiman pun tak luput dari kolusi semacam ini. Dengan demikian, setiap ada usaha pembersihan dari aparat terkait, bisa dipastikan mereka akan lolos. Kalaupun ada yang tertangkap dan diproses hukum, maka hukumannya bisa sangat ringan, atau malah "berat" dengan fasilitas super di sel-nya. Suap menyuap ini saling bersaing antar satu klan dengan klan lain. Siapa yang mampu membayar lebih, dia lah pemenangnya. Selain perang antar klan, inilah salah satu cara ampuh melumpuhkan klan yang lain.

Di negeri ini, presiden SBY sampai perlu membentuk Satgas Anti Mafia Hukum yang kerjanya mendeteksi penyakit kronis penegakkan hukum di bumi Merah Putih. Hasilnya, gebrakan pertama adalah terungkapnya sel super mewah Artalyta alias Ayin yang kemudian jadi bulan-bulanan publik. Banyak anggapan Ayin bagian dari sebuah jaringan mafia...entah jenis apa di negeri ini karena mafia di sini malu-malu kucing alias mafia belakang layar. Tak terendus siapa, tahu-tahu duit sudah di tangan. Hal ini yang kemudian di jadikan kegalauan luar biasa sang Penguasa. Publik pun sudah mafhum..persoalan penegakkan hukum di Indonesia bergantung jabat tangan antara penegak dengan penjahat (mafia). Yang kuat duitnya dia yang menang. Kasus Anggodo dan Anggoro jelas bagaikan bumi dan langit dibandingkan dengan Nenek Minah. Kasus Rp. 6,7 T duit negara jelas berbeda dengan kasus maling ayam...yang satu masih melenggang tawa, yang lain dihadapkan pada kehilangan nyawa.

Dalam sebuah game online, Mafia Wars, terekam jelas bagaimana mafia-mafia menjalankan operasinya. Ada level menyuap detektif polisi (New York), membunuh reporter investigasi (Moscow) dan "menghasilkan" politisi korup (Politico Corrupto-Cuba). Menariknya, Zynga belum merilis wilayah sarang mafia seperti diatas. Tak ada Jepang, Hongkong atau pun Italia. Yang ada New York, Kuba, Moscow dan sebentar lagi Bangkok dan Las Vegas. Bahkan Bangkok menjadi kota pertempuran antara Triad dan Yakuza. Namun apapun wilayahnya, modus operandi mafia selalu sama..paling tidak mirip-mirip. Mungkin pengembang perlu membuat kota Jakarta juga masuk dalam Mafia Wars..mengingat mengguritanya jaringan mafia hukum di negeri ini. Ah..sebentar..saya harus menaikkan level saya dulu di MW...

Sunday, January 24, 2010

Standing Party #2

Hari itu hari minggu, dimana sang mempelai pria mengucapkan janji pernikahannya di hadapan penghulu. Sang ayah mempelai wanita yang menikahkan, di saksikan ratusan orang undangan dan keluarga besar kedua mempelai. Sedikit canggung karena menurut pendengaran banyak orang, sang Ayah terdengar sedikit kepleset mengucapkan jumlah nominal mas kawin. Tetapi, toh di sahkan juga oleh saksi dari kedua keluarga.

Hari itu hari minggu...setelah teman-teman menghadiri akad nikah, maka sebagian rombongan perempuan yang baru datang di pagi harinya minta diantar ke hotel ber-AC yang nyaman. Padahal sang mempelai wanita sudah mempersiapkan banyak kamar untuk kami rombongan Jakarta, juga termasuk kamar untuk rombongan rekan yang menyusul. Tak apa lah, toh ketiga teman ini memang terlihat kusut dan lelah..dan mungkin perlu sedikit AC biar nyaman...

Hari itu hari minggu...akhirnya keputusannya adalah memilih untuk menjalani agenda masing-masing siang itu. Aku mengantar tiga teman ke hotel ber-AC ditemani Febro dan DW. Sisanya meng-agendakan hunting pernak-pernik sepeda. Sebelum mengantar DW pulang, mampirlah ke Prambanan yang berjarak cukup dekat dari hotel ber-AC itu. Sebetulnya iseng saja, karena dua kawan itu belum pernah ke Prambanan dan salah satunya bahkan belum pernah ke salah satu candi terbesar itu! Toh meski cuaca cukup panas, kami tetap mengarah ke timur kota Jogjakarta.

Hari itu hari minggu...hari libur, tetapi Prambanan tampak tidak begitu ramai, selain serombongan anak-anak sekolah yang masuk berbarengan dengan kami. Mungkin karena cuaca Jogja yang sedang cerah cenderung panas menyengat, banyak orang yang malas menuju komplek candi dan memilih berteduh di bawah pohon di taman-taman sekitar candi. Bagiku, menikmati candi haruslah melihatnya dari dekat dan menyentuhnya, bukan cuma mengawasi dari kejauhan. Jadi, meski panas, kami tetap melangkahkan kaki menuju bangunan-bangunan sisa peradaban masa lalu.

Hari itu hari minggu...cerah dan Febro langsung beraksi dengan kamera fotonya. Mengabadikan moment dan kemegahan candi secara bergantian. Bereksperimen dengan berbagai macam percobaan teknik fotografi...ah..untungnya ada model dadakan. DW yang tak sempat berganti kostum menjadi sasaran lensa. Kostumnya yang berwarna putih menjadi kontras dengan dinding-dinding candi yang menghitam legam. Tak begitu lama di Prambanan, karena hari semakin sore. Kami pulang dengan lelah...

Hari itu hari minggu...tetapi perjalanan masih panjang untuk menutup hari...

Thursday, January 21, 2010

Standing Party #1

Malam itu gerbong kereta Progo merambat lambat dari stasiun Senen ke arah timur. Penuh sesak yang tak pernah terbayangkan sebelumnya...seperti keadaan saat arus mudik lebaran. Sangat penuh, bahkan untuk berdiri saja sangat sulit. Dan kami berempat, terpaksa menjadi bagian dari ribuan penumpang berdiri lainnya menuju Jogjakarta dan sekitarnya.

Bagiku, berdiri dalam gerbong kereta menuju Jogjakarta bukanlah hal baru. Maklum, aku lebih suka menggunakan moda angkutan massal versi ekonomi ini jika melakukan perjalanan ke Jogjakarta. Dengan waktu tempuh yang sama dengan versi di atasnya, namun harga yang terpaut tiga kali lipat dari versi ekonomi membuatku lebih memilih rangkaian merah paling malam menuju timur pulau Jawa. Masalahnya, kami berempat harus berdiri hingga 7 jam...dan itu berarti Jakarta sampai Purwokerto. Tapi toh diantara kantuk dan lelah, kuat juga dua kaki ini berdiri menahan beban tubuh yang lunglai dan gontai, paling tidak sampai Purwokerto...