Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Tuesday, November 22, 2011

THE RAID (2011)

"Ini yang gua suka..." Mad Dog

Dalam dunia akademis ada istilah Indonesianis, merujuk pada orang-orang yang mencurahkan segenap ilmu yang dimilikinya untuk Indonesia. Orang-orang ini tidak hanya menyerahkan sebagian besar hidupnya untuk negeri ini, tapi juga kecintaan luar biasa terhadap apa pun yang berbau Indonesia.

Di dunia film Indonesia, setidaknya ada dua nama yang masuk kategori Indonesianis: Leonard Rettel Helmrich dan Gareth Huw Evans. Helmrich membuat karya 3 film documenter apik tentang keluarga Indonesia, sementara Evans baru saja merilis secara Internasional The Raid, film panjang keduanya setelah Merantau (2009).

THE RAID, atau akan rilis di Indonesia dengan judul Serbuan Maut, berkisah tentang Rama (Iko Uwais), Polisi muda yang idealis dan memandang segala sesuatunya hitam-putih. Dia bersama satuan yang dipimpin Sersan Jaka (Joe Taslim) ditugaskan menangkap gembong narkoba, Tama (Ray Sahetapy), di persembunyiannya sebuah apartemen kumuh yang menjadi pusat kendali kejahatan Tama. Tama tidak sendirian. Dia punya dua tangan kanan yang siap mati demi Tama. Satu adalah Andi (Donny Alamsyah), anak muda cerdas yang menjalankan semua bisnis Tama. Kedua adalah Mad Dog (Yayan Ruhiyan), petarung ulung tanpa ampun yang menjadi tukang pukul bagi para penghalang Tama.

Menyisir tiap lantai di sarang penjahat keji sekelas Tama bukan lah hal mudah. Jaka dan Rama kemudian dihadapkan pada situasi penyergapan yang membuat mereka kehilangan banyak anggota kesatuan. Bukan cuma anak buah Tama yang mereka hadapi, tetapi juga penghuni apartment yang juga menjadi kakitangan Tama, kecuali penghuni kamar nomor 726. Film ini tidak bertele-tele dengan pindah banyak lokasi. Cukup di lorong-lorong apartement Tama yang kumuh dan puluhan anak buah Tama yang siap dimatikan Rama. Puluhan orang yang berkelahi massal membuat film ini di 30 menit awal bagai film-film bertema Zombie.

Film ini punya alur mirip dengan Black Hawk Down. Penyerbuan yang seharusnya singkat dan minim korban malah menjadi pertempuran dan pertarungan panjang nan melelahkan. Sepanjang film, kita akan disuguhkan banyak special efek yang mengundang decak kagum. Rentetan peluru saat mereka bertempur tergambar wajar dan tidak berlebihan. Perkelahian massal pun mengundang tepuk tangan para penonton saat The Raid pertama kali di putar untuk moviegoers Indonesia pada ajang INAFF 2011.

Perkelahian massal, bukan tawuran, memang dijadikan ciri khas film ini. Mulai dari awal film, penonton hanya diberi kesempatan bernafas sepuluh menit pertama film. Tak banyak dialog-dialog serius yang panjang, hanya obrolan singkat,padat dan jelas. Sisanya adalah pertarungan Rama melawan anak buah Tama dan mencapai klimaks saat bertarung dengan Mad Dog. Tiap kali berkelahi, shot-shot yang merekam Rama dan lawannya membuat penonton menahan napas dan kemudian berdecak kagum. Koreo pertarungan digarap cepat, wajar dan punya efek mematikan bagi lawannya. Kecintaan Gareth terhadap silat dibayar tuntas pada tiap scene The Raid. Dia memperbaiki banyak kesalahan tarung yang terekam pada MERANTAU (2009). Selain koreo pertarungan, Evans juga memperbaiki banyak hal detail di film ini, terutama warna darah yang natural dan persis aslinya. Untuk koreo perkelahian, saya angkat topi buat Yayan Ruhiyan, dialah otak dibalik segala serangan dan tangkisan di The Raid.

Namun, meski banyak hal detail digarap serius, Evans tampaknya masih kedodoran menggarap detail lain dengan baik. Sejak awal film, terlihat ketidakjelian Evans membuat sebuah kesatuan elit kepolisian. Bagi orang awam, hal itu tidaklah kentara dan mengganggu, bagi yang pernah bergelut di dunia militer dan senjata, banyak hal detail yang justru menimbulkan banyak pertanyaan selama film diputar. Setidaknya, mestinya Gareth tidak melupakan standar kendaraan operasional sebuah kesatuan elit kepolisian haruslah berselimut material anti-peluru.
Meski film ini dimaksudkan sebagai film aksi, namun Evans tak ingin berhenti disitu. Memang tidak secara terang-terangan bicara Polisi Kotor seperti Fast5 atau serangkaian Inspektur Korup di banyak film India, tapi setidaknya Gareth jelas menyampaikan pesan itu. Dan tak semua Polisi itu bisa dibeli, masih ada yang bersih.

Yang menarik adalah bagaimana Gareth Evans menciptakan universe-nya sendiri. Sama seperti Merantau, dia menciptakan kotanya sendiri. Ini di Jakarta? Bukan. Karena tak ada simbol-simbol kota Jakarta. Polisi Indonesia? Belum tentu. Tapi Evans jelas mengkritik aparat Indonesia dan Jakarta. Satu-satunya yang bisa jadi patokan adalah banyak dialognya menggunakan dialek Betawi Jakarta yang kental. Selain dialek jakarte, Evans juga menegaskan keberadaan pemuda dari kawasan Indonesia Timur yang banyak menjadi "penguasa" beberapa wilayah Jakarta. Ada 4 orang kaki tangan Mad Dog yang terlihat dari ciri fisiknya berasal dari Indonesia Timur. Penggambaran stigma ini agak mengganggu sekaligus kemakluman.

Iko Uwais jelas menunjukkan lompatan jauh dengan perbaikan acting di The Raid ketimbang Merantau. Tapi yang jadi catatan adalah bagaimana Ray Sahetapy mampu berperan menjadi penjahat bertangan dingin yang bisa membunuh orang dengan mudah dan tanpa ampun, sekaligus pengecut. Ya, pengecut, karena dia butuh banyak orang untuk melindungi dirinya. Karakter yang dimainkan Ray mengingatkan pada sosok Tio Pakusadewo. Entah mengapa dua orang ini jadi terlihat mirip.

The Raid disarankan tidak ditonton oleh orang yang punya ketakutan terhadap darah dan kematian. Banyak adegan yang tergolong sadis yang hanya bisa disaingi oleh RUMAH DARA (2009). Tetapi jika Rumah Dara mampu melewati guntingan sensor, mestinya film ini pun demikian.

Catatan penting tentang film ini adalah selain dibuat oelh sutradara berkebangsaan Inggris yang cinta mati terhadap silat Indonesia, The Raid sudah melanglang buana dan sempat hinggap di Toronto International Film Festival 2011 dan memenangkan People Choice's Award kategori Midnight Madness.

Akhir kata, sosok pemuda baik hati, pemberani dan suka kelahi yang rajin shalat bukan cuma milik Mas Boy. Mengutip dialog Mad Dog: "Ini yang gua suka..."