Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Sunday, September 16, 2012

Sinematografi: Merekam Dengan Hati

"Shot dengan hati jangan pakai otak. Otak taruh di dengkul saja!"

Demikian kira-kira kalau Yadi Sugandi sedang bekerja. Siapa Yadi Sugandi? Beliau adalah salah satu Sinematografer terbaik yang dimiliki industri perfilman Indonesia. Banyak film-film Indonesia yang tergolong apik secara visual ada nama Yadi Sugandi di belakang kredit Penata Fotografi.

Buat saya, film-film Yadi Sugandi itu frame per frame-nya terasa dekat dan intim. Tidak hanya "dekat" karena lensa, tapi benar-benar dekat secara rasa. Penonton bisa dibawa ke dalam cerita, apa yang sedang dialami karakter, respon apa yang sedang terjadi, dan semua terasa akrab dan intim.

Bagi Pak Yadi, panggilan akrabnya, hati dan rasa itu komponen paling penting dalam pengambilan gambar. Teknis bisa menyusul, tapi rasa yang ada di hati kita saat men-shot sebuah frame menjadi tolak ukur bagaimana akhirnya frame tersebut berbicara kepada penontonnya. Rasa dari hati inilah yang menentukan suasana gembira, sedih, dramatis, akrab. Munculnya rasa itu bisa dilatih secara konsisten dan terus menerus, lewat banyak medium. 

Bagi seorang sinematografer dan kameramen (pemula), rasa itu bisa dilatih lewat video-video dokumentasi pernikahan dan kematian. Karena dimulai dari dua peristiwa itulah, ekspresi dan suasana yang sedang dialami manusia bisa terlihat secara jujur. Lewat peristiwa pernikahan dan kematian, kita pahami mana tangis duka, tangis suka, bagaimana kemudian kameramen tahu momen-momen yang bisa menjadi best shot-nya. Video dokumentasi pernikahan dan kematian menjadi sarana Pak Yadi belajar lebih dalam tentang pergerakan kamera, bagaimana kamera kemudian merekam shot-shot yang ekspresif dan dramatis.

Pak Yadi saat sharing pengalaman
Lantas, bagaimana menciptakan frame yang punya kedekatan dan rasa itu? "Saya ikut memainkan karakter yang saya shot dalam film." Jadi, frame-frame dekat dan dramatis selain peran aktor yang baik, juga karena sinematografer yang ikut "berperan" sebagai karakter di film. Jika adegan menari, Pak Yadi akan menari, jika adegan menangis, kadang Pak Yadi ikut menangis.

Di era digital ini, siapapun bisa membuat film, tapi film kemudian memunculkan ke-aku-an pembuatnya. Penyebabnya adalah mulai terkikisnya kolaborasi mendalam antara masing-masing pihak yang terlibat dalam pembuatan film. Kadang, seorang Director of Photography, juga departemen lain hanya berperan sebagai tukang. Bisa jadi ini kritikan serius seorang pelaku industri perfilman Indonesia. Kolaborasi yang sekedarnya melahirkan karya yang sekedarnya pula. Tidak ada kedalaman, tidak ada rasa, dan itu, bagi penggiat audio-visual, akan terlihat di layar (frame).

Seorang sinematografer yang baik dalam sebuah produksi film ibarat istri dalam berumah tangga. Tugas utamanya adalah melayani suami (sutradara), karena idealnya, sinematografer adalah pekerjaan pelayanan, servis. Tetapi, seorang sinematografer harus bisa berperan sebagai kepala keluarga saat posisi sutradara sedang lemah. Dia harus bisa menjembatani keinginan-keinginan sutradara yang tidak tersampaikan.  Disinilah kolaborasi yang baik harus bisa terjalin dan tercipta antar pihak yang terlibat, sehingga ke-aku-an bisa terkikis. Ada diskusi panjang mengenai sebuah film yang akan dibuat jauh-jauh hari sebelum eksekusi, dan itu akan menjadi karya bersama.

Meski sudah pernah menjadi kepala rumah tangga sebagai sutradara di trilogi Merah Putih, Pak Yadi menegaskan komitmennya untuk tetap menjadi seorang Director of Photography. Dan secara terbuka, beliau mempersilakan siapa saja untuk belajar sinematografi langsung kepadanya.

*tulisan ini adalah kesan dan kesimpulan selama mengikuti Workshop: Camera Works bersama Yadi Sugandi yang diadakan di SAE Institute Jakarta, 15 September 2012*

Cabin In The Woods (2012): Gado-gado Yang Salah Takaran.




5 (lima) anak muda dengan latar perilaku berbeda berlibur ke sebuah kabin di hutan. Sound familiar?

Resep kuno di film horror dan suspense masih jadi daya imajinasi terkuat. 5 (lima) anak muda dengan karakter laki-laki gagah atletis, laki-laki pendiam nan cerdas, laki-laki pemabuk dan penuh fantasi, popular seksi yang ceroboh serta si perawan adalah resep klasik film-film horor. Demikian dengan Cabin In The Woods garapan perdana feature panjang Drew Goddard. Lima anak muda ini, mengendarai sebuah van berlibur ke sebuah kabin di tengah hutan. Yang tidak mereka sadari, mereka akan mengalami serangkaian teror mengerikan. Teror yang datang atas tuntunan dari mereka sendiri. 

Bangunan horor dimulai saat mereka bermain ke lantai dasar kabin. Mereka menemukan banyak barang-barang tua dan antik. Dana (Kristen Connolly) menemukan dan membaca satu buku tua berdebu. Hingga pada akhirnya, ia membangkitkan zombie. 

Satu per satu dari mereka di buru, dan dihabisi. Urutannya pun masih mengikuti pola klasik horor. Namun, ada saja yang selamat, seperti resep-resep film horor lainnya. Dua yang selamat ini akan membuka “permainan” apa yang sedang terjadi dan yang mereka alami. Mereka tak sadar bahwa apa yang terjadi ada “pengendalinya”. Pengendali inilah yang “menentukan” urutan-urutan siapa saja yang harus dihabisi lebih dulu. Sampai disini, Drew Goddard tampaknya ingin menyindir plot klasik film horor.

Sindiran Goddard mungkin tak berakhir disini. “Pengendali” dari AS ini bertanggungjawab terhadap keberlangsungan hidup dunia, setelah “pengendali” di belahan bumi lain gagal memainkan perannya. AS, sekali lagi, jadi sandaran hidup, the last action hero, dimana semua orang berharap padanya.

Sesungguhnya, Cabin In The Wood adalah kumpulan cuplikan horor dan fantasi yang pernah ada. Segala makhluk ada di film ini. Ini bukan film horor yang membuat penonton akan “oh..gini…” atau “ihh..jangan kesituu!!”, melainkan film yang memaksa horror geek mengingat-ingat plot horor yang pernah ditontonnya. Sebagai sebuah film horor-suspense, tak ada ketegangan berarti yang bisa mewakili teror terhadap penonton. Twist yang muncul pun tidak menunjukkan adanya sebab akibat, melainkan kebetulan belaka. Apa yang mau diceritakan, mungkin Goddard lupa takaran bumbu horornya. Hingga akhirnya, Cabin In The Woods bagaikan gado-gado dengan rasa aneka bumbu dapur yang campur aduk.

Dan pada akhirnya, kita tak peduli lagi bagaimana seujug-ujug Curt (Chris Hemsworth) meyakinkan ke-4 temannya yang lain untuk memutuskan berlibur ke kabin milik sepupunya itu… Sepupu dan sejarah kabinnya bagaimana? Au ah gelap…

*kredit foto http://www.imdb.com/title/tt1259521/ *