Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Wednesday, October 06, 2010

Heart of Jenin (2008): Satu hati, Lima Nyawa

Apa yang bisa di berikan sebuah film dokumenter? Reaksi. Setelah filmmaker membuat aksi dengan memfilmkan sebuah kejadian atau rangkaian kejadian dalam kurun waktu tertentu, kita, penonton seharusnya bisa memberikan reaksi tertentu, terlebih atas nama kemanusiaan.

Duo sutradara Jerman, Leon Geller dan Marcus Vetter mengantarkan sebuah tindakan aksi-reaksi sangat apik dalam film dokumenternya Heart of Jenin (2008). Film ini di buka dengan serah terima jenazah Ahmed Khatib di Tepi Barat, perbatasan Israel-Palestina. Ahmed Khatib di tembak tentara Israel pada hari pertama Idul Fitri, November 2005. Ahmed ditembak dengan sengaja oleh tentara Israel yang mengira ia membawa senapan sungguhan. Bocah 12 tahun asal Jenin ini sedang bermain dengan senapan mainan saat insiden terjadi.

Ahmed sempat di rawat di sebuah rumah sakit di Haifa, Israel selama dua hari sebelum akhirnya dinyatakan meninggal. Selama perawatan, jantung Ahmed berdetak karena bantuan mesin medik. Atas saran dokter rumah sakit, organ tubuh Ahmed akan di donorkan kepada anak-anak lain yang membutuhkan. Ismail Khatib, setelah berdiskusi dengan banyak orang, termasuk Mufti Jenin, akhirnya membolehkan donor organ tersebut, termasuk jantung.

Organ tubuh Ahmed di donorkan kepada 6 orang warga negara Israel. Organ jantung di donorkan kepada Shamah Gadban, 12 tahun, seorang Druze Aran di Dataran Tinggi Golan, Israel. Ginjal di donorkan pada seorang Baduy Arab Muslim, Mohammed (5 tahun) dan seorang gadis cilik Menuha Rivka Levinson berasal dari keluarga Yahudi Ortodoks berusia 3 tahun. Seorang remaja Yahudi juga menerima paru-paru, hati diterima wanita berusia 58 tahun dan balita 7 bulan yang tak selamat dalam operasi cangkok tersebut.

Film ini berkisah perjalanan Ismail Khatib menemui para penerima organ anaknya. Pro-kontra dan ketidak pahaman, baik warga Israel maupun Palestina mewarnai hampir sepanjang film ini. Keluarga Levinson, Yahudi Ortodoks, bahkan sangat keras tidak ingin berteman dengan Ismail Khatib atau orang Arab lainnya. Keluarga besar Ismail Khatib juga tidak diijinkan memasuki wilayah Israel meski memiliki surat-surat lengkap.

Meski sulit, Ismael berhasil menemui ketiga penerima organ anaknya. Momen terbaik adalah saat ia mengunjungi keluarga Gadban yang memberinya 200 tas sekolah untuk lembaga yang ia pimpin di Jenin. Momen canggung juga terekam baik saat Ismail bertemu keluarga Levinson. Ada percakapan yang menarik antara Yakoov Levinson dan Ismail dalam bahasa Israel yang diterjemahkan kerabat Ismail. Yakoov menyarankan agar Ismail pindah ke Turki atau London agar mendapat pekerjaan dan hidup lebih baik. Ismail membalasnya kenapa bukan Levinson saja yang pindah ke sana. Pertemuan dengan Levinson pun berlangsung dengan “jarak” terlihat dari gestur keduanya.

Problem kekerasan dan pendudukan Israel atas Palestina membuat kedua pihak sulit menemukan jalan damai. Insiden tertembaknya Ahmed juga bukan yang pertama kali. Sudah ratusan korban anak-anak Palestina yang tewas di tangan tentara Israel. Juga banyak anak-anak Israel yang tewas karena bom bunuh diri para martir Palestina. Melalui film ini, penonton di ajak berfikir bahwa perlawanan bersenjata yang penuh darah bukan lah jalan utama dan satu-satunya.

Ismail Khatib mencoba melakukannya dengan jalan pendidikan, dimana ia memimpin sebuah lembaga perdamaian yang pendanaannya di sumbang sebuah kota di Italia. Dia dengan tegas berkata bahwa apa yang dilakukannya lebih membuat Israel marah ketimbang menjadi martir bom bunuh diri, sebab Israel akan semakin senang ketika aksi bom bunuh diri tersebut memakan korban jiwa anak-anak Israel. Dengan demikian, menurut Ismail, Israel juga akan semakin gencar menghancurkan pemukiman Palestina bahkan sampai ke tanah negara Palestina itu sendiri.

Keputusan mendonorkan organ tubuh anaknya juga mendapat tentangan dari banyak pihak di Jenin, yang tentunya tak terima organ-organ tersebut jatuh ke warga negara Israel, terutama Yahudi. Mereka berfikir “bagaimana bisa organ tubuh Ahmad di donorkan kepada orang yang telah membuat ia tewas.” Tetapi Abla, ibunda Ahmed, tetap pada keputusan bersama Ismail. Selain itu, dukungan juga di berikan Zakaria Zubeidi, komandan Brigadir Martir al-Aqsa. Zakaria tidak bermasalah dengan Yahudi, sepanjang itu berkaitan dengan kemanusiaan.

Menyimak pernyataan Zakaria Zubeidi, persoalan Israel-Palestina tampaknya memang bukan persoalan religi atau keyakinan biasa. Yahudi dan Islam menjadi bumbu utama konflik yang tidak berkesudahan. Persoalan Israel-Palestina mestinya bisa dilihat dari sudut pandang yang lain, sehingga kedua pihak punya kesamaan visi dan pandangan akan kemanusiaan. Prosesnya memang sulit, terlihat dari stigmatisasi Levinson terhadap bangsa Arab yang menurutnya hanya ingin membunuh Yahudi Israel sebanyak-banyaknya. Tapi rekonsiliasi dan pemahaman akar masalah sangatlah dibutuhkan bagi setiap proses penyelesaian konflik.

Duo Jerman ini bisa memperlihatkan hal tersebut dan membuat saya berfikir tentang akar konflik yang berkepanjangan yang terjadi dimanapun di muka bumi: Ketidakpahaman akan masalah… Heart of Jenin membuka mata akan adanya secercah harapan bagi perdamaian Israel-palestina…Dan Heart of Jenin adalah film dokumenter yang bisa membuat saya meneteskan air mata…

Wednesday, April 28, 2010

Film Indonesia Terbaik Satu Dekade...versi saya...

Tahun 2010 belum juga berakhir, tapi setidaknya saya iseng-iseng menyusun Film Indonesia terbaik satu dekade ini (2000-2010). Film-film ini disusun bukan tanpa alasan, tapi dengan mempertimbangkan banyak hal, teknis dan non-teknis. Logika bercerita dan bertutur biasanya menjadi alasan saya untuk memberikan kredit positif buat sebuah film. Kedua, teknis gambar yang enak dinikmati mata saya yang awam. Ketiga kedekatan dengan realitas lokal. Meski film (fiksi) adalah gambaran realitas si pembuatnya, tapi paling tidak kalau mendekati realitas yang sesungguhnya, saya akan dobel nikmat menontonnya. Keempat tema yang diangkat tidak dangkal, ada pesan-pesan tertentu yang bisa saya tangkap. Tema yang diangkat bisa jadi sederhana, bisa jadi rumit dan kompleks...selama logika bercerita dan bertuturnya nyambung dengan kapasitas otak saya yang pas-pasan ini, pasti saya kasih kredit positif kepada filmnya. Daftar ini bisa saja berbeda dengan daftar pilihan anda, bebas saja kok.

Ini dia daftar 20 film Indonesia terbaik satu dekade ini versi saya:
1. cin(T)a - Samaria Simanjuntak, 2009
2. Janji Joni - Joko Anwar, 2005
3. Pintu Terlarang - Joko Anwar, 2009
4. Laskar Pelangi - Riri Riza, 2009
5. Arisan - Nia Dinata, 2003
6. Denias, Senandung Di Atas Awan - John De Rantau, 2006
7. King - Ari Sihasale, 2009
8. Jamila dan Sang Presiden - Ratna Sarumpaet, 2009
9. Pasir Berbisik - Nan T. Achnas, 2001
10. Rumah Dara - The Mo Brothers, 2009
11. Gie - Riri Riza,2005
12. Romeo Juliet - Andybachtiar Yusuf, 2009
13. Babi Buta Yang Ingin Terbang - Edwin 2008
14. Keramat - Monty Tiwa, 2009
15. Mirror - Hanny R. Saputra, 2007
16. Get Married - Hanung Bramantyo, 2008
17. Si Jago Merah - Iqbal Rais, 2008
18. Mengejar Matahari - Rudy Soedjarwo, 2004
19. Catatan Akhir Sekolah - Hanung Bramantyo, 2005
20. 3 Hari Untuk Selamanya - Riri Riza, 2007

Ada beberapa film yang saya juga beri kredit positif dan layak tonton seperti Queen Bee - Fajar Nugroho, 2009; Alangkah Lucunya (Negeri Ini) - Deddy Mizwar, 2010; Menebus Impian - Hanung Bramantyo, 2010; Apapun, daftar tetaplah hanya sebuah daftar...yang paling penting adalah menonton karya sineas anak bangsa yang berkualitas, tidak sekedar horor semi porno. Dan menonton (atau membuat) film adalah pengalaman personal, jadi interprestasi dan tafsir bisa berbeda.

Selamat Menonton!

Monday, April 19, 2010

Menebus Impian (2010)


Apa yang terbesit ketika mendengar kata impian dan selalu diucapkan berkali-kali? Kalau saya, langsung teringat dengan prospektor MLM. Ya..orang yang kerjanya memprospek orang lain untuk mau jadi downline-nya dalam bistis Multi Level Marketing. Terus terang, saya tak suka dengan MLM, apapun namanya, apapun unit bisnisnya, apapun produknya. Tetapi satu hal yang saya kagumi dari mereka adalah sikap tak kenal menyerah, karena mimpi buat mereka adalah panduan hidup. Menyerah berarti gagal...dan dalam bisnis MLM, sekali menyerah dan merasa gagal...maka akan sulit menemukan kembali semangatnya...Semua itu akan kembali hidup jika kita punya mimpi.

Menonton MENEBUS IMPIAN karya Hanung Bramantyo adalah menonton potret realitas masyarakat pinggiran. Masyarakat yang sebagian (kecil) sukses karena mimpi dan sebagian (besar) lainnya realistis menatap hidup. Film ini berkisah tentang Nur (Acha Septriasa) dan Ibunya, Sekar (Ayu Dyah Pasha). Sekar sebagai orang tua tunggal karena ditinggal suami harus bekerja menjadi buruh cuci untuk menghidupi keluarganya. Sementara Nur, punya impian dan cita-cita mengeluarkan Ibunya dari himpitan ekonomi. Nasib mempertemukan Nur dengan Dian (Fedi Nuril) yang bekerja sebagai prospektor MLM. Dian memberikan inspirasi bagi Nur untuk mulai mengejar mimpinya. Awalnya menjadi pelayan bar adalah pilihan utama, karena uang yang di dapat pasti dan teratur. Namun sejak Nur menemukan jalan di bisnis MLM, maka Nur memilih untuk berhenti jadi pelayan bar.

Jatuh-bangunnya Nur dalam menjalani bisnisnya terekam baik. Termasuk keluhan Nur yang bosan di lecehkan dan dihina karena pekerjaannya. Suka duka menjadi prospektor MLM pun digambarkan dengan dialog cerdas. Saat Dian berselisih dengan Nur, terlontarlah sindiran bagi orang-orang yang anti MLM seperti saya:"Dari pertama kita ketemu, kamu selalu nyuruh aku pergi. Tapi apa pernah aku mau Nur? Enggak. Ada juga kamu yg pergi duluan." Begitulah, kalau ada prospektor MLM (dan marketing lain) datang, saya memilih pergi duluan...Apa beda MLM dengan Money Game? Edukasinya juga di berikan dalam film ini.

Tapi film ini tidak sekedar MLM. Tidak suka pada MLM dengan menonton film yang dibiayai MLM adalah dua hal berbeda. Meski saya tidak suka MLM, tapi saya menikmati film ini sebagai potret realitas kerasnya hidup di Jakarta. Kawasan pinggiran yang padat, lingkungan yang berisi bermacam manusia, dari rentenir sampai yang menjadi PSK. Hidup jadi satu di tengah belantara kota.

Kredit terbaik saya berikan kepada Hanung dan Faozan Rizal sang penata Fotografi yang dengan jeli meng-eksplor padatnya pemukiman dengan bagus. Eksplorasi gambar di ruangan dengan menggunakan cermin membuat set terlihat lega. Dan ini adalah kunci bagaimana Hanung menghadirkan gambar-gambar indah di dalam ruangan sempit. Tata cahaya yang natural juga membuat film ini nyaman di tonton.

Soal akting, saya suka aktingnya Acha Septriasa, sangat suka! Terlebih waktu scene Nur minta maaf kepada Sekar, ibundanya..wah..itu best scene film ini. Dua karakternya menyatu plus set yang mendukung menjadikan saya terpaku menyaksikan adegan itu. Teringat ibu saya jadinya...Sementara Fedi Nuril terlihat semakin lekat dengan karakter pemuda pintar, polos dan lugu. Tapi karakter Dian ini polos-nya lebih baik daripada Fahri di AAC. Dan gaya Fedi memprospek orang sangat MLM. Ayu Dyah Pasha juga menghadirkan karakter Sekar sebagai sosok ibu yang bertanggung jawab terhadap anaknya, pekerja keras dan pantang mengeluh.

Film ini saya nikmati, logika bertuturnya runut dan masih bisa di terima otak saya yang pas-pasan ini. Meski ada beberapa adegan yang janggal, tapi itu tidak mengurangi inti cerita. Kalau saya bilang, beginilah seharusnya film Indonesia dibuat..Semuanya tidak ada yang mudah, tapi kalau dikerjakan serius, hasilnya bagus!

Kredit Foto: http://www.menebusimpian.com/

Friday, April 16, 2010

cin(T)a - 2009


Beberapa waktu lalu, saya membeli DVD rilisan Jive Collection. Film ini memang sudah saya tunggu rilis DVDnya, sebab saya tak sempat menyaksikannya di bioskop maupun roadshow-nya. cin(T)a, judul yang sederhana namun menyimpan banyak makna. Pemilihan cara menulis pun menyiratkan banyak tafsiran.

cin(T)a berkisah tentang pertanyaan tentang dunia dan Tuhan serat ke-Tuhan-an. Dua karakter, Cina dan Annisa di ceritakan datang dari latar berbeda. Cina (Sunny Soon), mahasiswa arsitektur yang baru masuk, berasal dari Tarutung, beragama Kristen dan keturunan Tionghoa. Sedangkan Annisa (Saira Jihan), mahasiswi arsitektur senior yang sibuk dengan kegiatan ke-artis-annya sehingga terancam DO, berangkat dari keluarga broken home, berasal dari etnis Jawa dan beragama Islam. Dua karakter ini nyaris terus menerus berada dalam satu frame.

Keduanya jatuh cinta karena seringnya mereka bersama. Meski Annisa awalnya tak menghendakinya karena perbedaan keyakinan. Sementara Cina lebih pragmatis dengan menempatkan persoalan perbedaan keyakinan sebagai sesuatu yang tidak serius. Sepanjang film, kita akan disuguhi banyak dialog-dialog filosofis yang mempertanyakan persoalan ke-Tuhan-an. Saking mendominasinya dialog tentang keyakinan ini, maka sangat lah tepat jika tagline GOD is our Director layak di cantumkan.

Dialog-dialog cerdas di gambarkan dalam ruang sinema yang apik dan tidak membosankan. Sesekali di selingi berbagai simbol. Cina di gambarkan sebagai orang yang sangat suka buah apel. Bagi saya, apel di film ini seperti melambangkan kemaskulinan, terlihat lelaki tapi juga di sukai perempuan. Sosok Cina berusaha menyatu ke dalam karakter itu. Belum lagi keberadaan seekor semut kecil yang melambangkan betapa kecilnya sosok makhluk di hadapan (masing-masing) Tuhan-nya.

Dialog-dialog cerdas terekam dalam berbagai frame. Meski sedang bermain di taman, Cina selalu menonjolkan sifat yang permisif terhadap perbedaan keyakinan. Sementara Annisa dengan pengetahuannya terlihat selalu mempertanyakan eksistensi keagamaan bagi manusia jika agama dijadikan salah satu pmicu konflik. Sampai-sampai perdebatan terjadi melebar dari urusan Israel-Palestina sampai Cina yang ingin mengajak Annisa ke Ambon yang menurut Cina agama dijadikan pemicu konflik. Perdebatan sensitif ini pun ditutup dengan permintaan Annisa untuk tidak memulai konflik yang sama dengan dia.

Belum lagi misalnya, ketika Annisa secara cerdas mempertanyakan kenapa Allah menciptakan banyak agama jika Dia hanya ingin disembah dengan satu cara oleh umatNya. Atau dengan jenaka, pada scene yang dihapus (ada di bonus features DVD), ketika Annisa akan maju sidang dan memohon doa restu, Cina memintanya untuk berdoa pada Tuhan-nya. Masih banyak lagi dialog yang sebenarnya lebih cocok dinikmati bersama para penikmat filsafat. Meski demikian, film ini tidak berusaha menggurui dan berusaha menghadirkan percakapan normal tapi berisi.

Film ini dengan sangat cerdas menempatkan hanya Cina dan Annisa dalam frame. Cast lainnya tidak dimunculkan secara jelas. Sejak pembukaan film, Samaria Simanjuntak sebagai Sutradara dan M. Budi Sasono sebagai Penata Fotografi, sangat konsisten menyembunyikan wajah para figuran dan extra cast. Jika merunut pada pendapat keduanya, pemilihan frame seperti ini bukan tanpa alasan. Mereka berusaha menunjukkan bahwa ketika sedang jatuh cinta, maka dunia serasa milik berdua. Itu yang sedang terjadi pada Cina dan Annisa. Dalam satu sesi diskusi, mereka juga mengakui, bahwa frame-frame yang mereka pilih terinspirasi dari serial animasi Tom & Jerry.

Untuk memunculkan sisi romantis misalnya, Samaria menggambarkan adegan Annisa berwudhu yang dilihat Cina dengan efek Slow Motion, sehingga rasa cinta terbangun tanpa harus bermanja-manja dengan kata dan permainan watak. Bagi saya, itu adalah best scene di film ini.

Selain Babi Buta Yang Ingin Terbang (2009), buat saya, cin(T)a, memperlihatkan dengan nyata persoalan-persoalan yang sebetulnya sangat sensitif. Persoalan etnis Tionghoa-Jawa, Islam-Kristen, perkawinan beda agama, konflik antar umat beragama dan problem anak muda. Dalam salah satu dialog, Cina bahkan mengkritik hubungan Islam-Kristen dalam tataran Politik. Cina menyebut bahwa dia tidak cukup Islam untuk menjadi pemimpin daerahnya sendiri.

Hubungan cinta keduanya bahkan cenderung tidak umum, meski ada, yaitu jatuh cintanya Annisa si mahasiswi senior tingkat akhir kepada Cina, mahasiswa baru. Tentunya dari segi usia, misalnya, saya bisa saja menebak kalau Cina lebih muda daripada Annisa. Sepanjang film sendiri, hanya Annisa yang dengan jelas menyebutkan usianya, 24 tahun. Cina? Mungkin penonton dibiarkan menebaknya...

Ah, buat saya, ini film Indonesia terbaik dalam satu dekade terakhir dan sangat layak (harus malah!) untuk ditonton...Mari menonton film-film Indonesia berkualitas dan mulai tinggalkan film-film horor semi porno..Maju terus film Indonesia!!!

kredit foto: http://www.godisadirector.com/En/home.html

Wednesday, March 24, 2010

Film Musik Indonesia: DUO KRIBO (1977)


Kineforum dalam momen Bulan Film Nasional 2010 menyempatkan memutar DUO KRIBO, sebuah film musik (rock) Indonesia. Film ini sempat hilang di tangan studio yang memproduksinya. Film buatan tahun 1977 adalah buah karya Eduart Pesta Sirait, dan skenario oleh Remy Silado. Tentunya bagi beberapa orang yang mengenal Remy Silado, film ini "ngehe banget" - mengutip Soleh Solihun.

Film ini terutama bercerita tentang kedatangan Ucok (Ucok Harahap) yang merantau ke Jakarta dari kampungnya di Medan sana demi menjadi seorang penyanyi. Di saat bersamaan, Achmad (Achmad Albar) menjejakkan kakinya kembali di Jakarta setelah lulus dari salah satu konservatori musik di Jerman. Keduanya merintis dengan jalan yang berbeda, Ucok menjadi troubadour alias pengamen dan Achmad langsung memasuki dunia panggung.

Nasib mempertemukan mereka di panggung. Ucok dengan bantuan Evayanti Arnaz berhasil masuk studio rekaman. Achmad pun demikian berkat kedekatan Andi (Inisisri) dengan direktur perusahaan rekaman. Keduanya bersaing dalam bermusik, hingga gesekan dan konflik muncul. Kedua superstar ini bahkan nyaris baku hantam. Meski demikian, direktur rekaman yang melihat peluang pasar, lantas menyatukan keduanya di panggung dengan label DUO KRIBO.

DUO KRIBO film yang sesungguhnya mengandung kritik, baik jika dilihat pada jamannya maupun kekinian. Kritik-kritik tersebut lahir dari tangan skenario Remy Silado. Diantaranya saat Achmad Albar meledek Ucok yang dianggap belum superstar karena hanya main musik tiga jurus. Atau saat Cukong rekaman membuat pernyataan bahwa penguasa sesungguhnya adalah masyarakat (pasar).

Meski penuh kritik, film ini juga menyelipkan unsur komedi. Komedi yang di bangun dari keluguan Ucok yang berlogat Melayu sedikit Batak. Tak usah melalui dialog, wajah Ucok pun memang terlihat sudah lucu. Seperti saat Ucok tak mau naik bis karena banyak "kepiting" atau ketika melamun di kamarnya bahwa Ucok tak ingin beli mobil Peugeot karena tak bisa melafalkannya. Khusus soal mobil, tampaknya ini adalah simbol kemakmuran pada saat itu. Dari awal, Ucok memang hanya ingin memiliki mobil Mercy warna putih.

Film ini meskipun tidak dibuat dengan hati, menurut Eduart sendiri, namun bisa dikategorikan film musik. Banyak sekali adegan-adegan panggung, terutama dari Achmad Albar yang dalam film itu memang ingin besar di panggung terlebih dahulu sebelum rekaman. Namun, lagu-lagunya sendiri tidak melulu dikategorikan rock.Lagu balada Panggung Sandiwara sempat juga di masukkan, disamping lagu-lagu lain yang semuanya tidak saya kenal. Ikon Duo Kribo sendiri sebenarnya adalah dua musisi rock besar pada saat itu. Dari tangan Duo Kribo, selain Panggung Sandiwara, juga lahir Neraka Jahanam. Selebihnya, mengutip Denny Sakrie agak ngepop karena kompromi terhadap kesukaan masyarakat yang suka musik pop.

Menjadi musisi atau penyanyi masih menjadi magnet bersamaan dengan cita-cita orang-orang yang ingin menjadi terkenal. Tentunya ingin dikenal melalui karya, bukan karena korupsi. Dengan berbagai cara, setiap orang ingin mewujudkan keinginannya menjadi selebriti. Film DUO KRIBO memotret dengan baik realitas itu, realitas pada masanya yang masih juga relevan dengan kondisi sekarang. Pertanyaannya, apakah masyarakat masih menjadi raja, atau hanya bagian kecil dari industri yang sangat butuh pasar? Kualitas musik dan film Indonesia belakangan ini menjadi jawabnya...



*pict: http://bambangtoko.com/album-foto-kenangan/koleksi-poster-film-konser/

Filmmakers...

Being Filmmakers adalah cita-cita saya sejak pertama kali di racuni film oleh seorang kawan, Darwin Nugraha. Film pertama yang menyita perhatian saya saat itu adalah Natural Born Killer yang dibintangi (salah satunya) Woody Harelson. Saya pikir "Keren sekali film ini...apalagi kalau suatu saat saya bisa bikin..." Saat itu, mimpi tinggal mimpi...Sementara Darwin sudah menjadi bagian dari industri film nasional, saya tetap menjadi penikmat film.

Belakangan, minat saya untuk produksi film kembali muncul. Penyebabnya adalah seringnya waktu luang saya yang saya gunakan hanya untuk menonton film. Kalau dulu menonton film untuk hiburan, sekarang-sekarang ini menjadi sebuah kewajiban untuk belajar. Belajar gambar kalau istilah saya. Kebetulan saya memang bekerja menjadi news-cameraperson di salah satu stasiun televisi swasta nasional di Jakarta. Kebutuhan belajar gambar jadi lebih dari sekedar mencari referensi.

Bergabungnya saya di stasiun televisi swasta nasional ini memberi kesempatan pertama saya untuk lebih mengenal dunia audio-visual, terutama televisi. Berbagai jenis dan karakter program televisi sudah saya singgahi. Dari spot news, feature, sampai dokumenter. Yang terakhir justru semakin menarik minat. Ya, saya kemudian memang jatuh cinta kepada film dokumenter. Meski demikian, belum ada satupun film dokumenter lepas yang saya buat kecuali dokumenter televisi untuk kepentingan tempat kerja saya.

Namun, tetap saja...filmmakers..Pembuat Film...atau apapun istilahnya sangat menarik minat saya. Dan jalan menuju ke arah sana sedang terbuka...terbuka sangat lebar. Kesempatan mungkin tak datang dua kali..Seorang sahabat tiba-tiba berbicara dengan semangat yang sama dengan dukungan finansial yang di genggamnya sekarang ini. Hanya bertanya "Bisa ?" Saya jawab "Bisa!". "Ada Timnya?" Dengan yakin "Ada!". Obral obrol yang masih omong kosong dan bualan tingkat tinggi ini semakin lama semakin meyakinkan saya untuk bisa membuat satu karya. Segalanya berjalan begitu cepat, dan tiba-tiba saja ada yang menawarkan untuk tidak seja membuat satu film (pendek) tetapi dua sekaligus! Pertanyaan iseng pun sempat terlontar kepada salah satu musisi paling berbakat negeri ini untuk meminta salah satu lagunya menjadi soundtrack...Dan mereka menjawab silakaaaaan!

Film adalah karya personal menurut saya, dan saya sedang berusaha mewujudkannya. Semoga apa yang sedang saya hadapi sekarang, tidak sekedar mengendap dalam pikiran saya, tetapi bisa juga dinikmati penonton nantinya...semoga...

Wednesday, January 27, 2010

Negeri Mafia

Berulangkali negeri ini diramaikan dengan berita tentang mafia. Mulai dari mafia kasus, mafia tender sampai mafia narkoba. Yang terparah adalah maraknya mafia hukum yang mencakup mafia kasus dan mafia peradilan. Banyak pihak terlibat disini, ya penegak hukum, jaksa, pengacara, penjahatnya.

Mafia bukanlah terminologi asing di dunia modern. Setidaknya dunia mengenal mafia dari film-film Hongkong. Wilayah yang masuk ke dalam negara China ini mempunyai barisan rapi mafia lokal, Triad. Meski lokal, wilayah operasinya bisa mencapai luar batas wilayah negaranya. Produknya pun beragam. Kemudian ada Jepang yang memiliki jaringan penjahat bertato, Yakuza. Modus dan produk kejahatannya pun setali tiga uang dengan Triad Hongkong. Selain menguasai dunia bawah tanah, Yakuza dan Triad juga menguasai pemerintahan melalui suap dan korupsi. Tetapi diantara semua mafia, yang paling terkenal dan rapi jaringannya adalah Mafia Italia. Para Don ini tersebar mulai dari wilayahnya Sicillia di Italia, sampai New York di Amerika Serikat. Don-don yang di film-film digambarkan bertubuh tambun dan menghisap cerutu ini menguasai usaha ilegal dan semi ilegal dari hulu ke hilir, dari pra produksi sampai pemasaran, dari narkoba sampai real estate. Belum lagi mafia (kartel) obat bius khas Amerika Selatan, seperti Pablo Escobar dari Kolombia yang menguasai jaringan obat bius di seluruh dunia. Itu yang kelas kakap. Yang kelas teri sampai kecebong jumlahnya tentu lebih banyak.

Para mafia ini, apapun jenis usaha dan kebangsaannya, terikat dalam satu klan. Kelompok satu dengan yang lain terikat dalam satu ikatan kesamaan nasib. Mereka berorganisasi, mengelola setiap inti usahanya agar lebih menghasilkan. Kelompok-kelompok kecil bergabung menjadi satu kelompok besar, dan kelompok besar bergabung menjadi kelompok yang lebih besar. Selain mengamankan wilayah kekuasaan, mereka terutama melindungi diri dan kelompoknya dari gangguan klan lainnya. Persaingan a la rimba raya, yang terkuat yang menang, menjadi daya tarik utama terbentuknya sebuah klan. Dalam setiap pertempuran antar klan, seringkali pihak yang kalah bergabung dengan klan yang menang. Sehingga dengan demikian, klan tersebut menjadi lebih kuat dan disegani. Selain itu, bersatunya kelompok mafia dalam klan semakin mempersempit peluang hukum untuk mengungkapnya.

Yang menarik dari klan-klan mafia ini adalah adanya demokrasi, adanya perdebatan menarik tentang banyak hal yang menyangkut kelangsungan hajat hidup kelompoknya. Di dalam film-film tentang mafia, jarang sekali di temukan adanya gambaran pengambilan keputusan sepihak. Semua masalah dikomunikasikan, dibicarakan dengan sesama anggota klan. Sepanjang itu menyangkut kepentingan klan, perdebatan sampai bagian terkasarnya pun tak menimbulkan dendam...kecuali jika salah satu anggota klan berkhianat, maka bisa dipastikan karir bernafasnya selesai di bumi. Setiap anggota klan juga punya kode etik tertentu yang mewajibkan mereka saling menghormati anggota klan yang lain. Jika tidak, ya resikonya itu, mati.

Untuk melanggengkan keberadaan mafia ini, tak jarang mereka menyuap pejabat pemerintah. Terutama polisi dan politisi. Institusi kehakiman pun tak luput dari kolusi semacam ini. Dengan demikian, setiap ada usaha pembersihan dari aparat terkait, bisa dipastikan mereka akan lolos. Kalaupun ada yang tertangkap dan diproses hukum, maka hukumannya bisa sangat ringan, atau malah "berat" dengan fasilitas super di sel-nya. Suap menyuap ini saling bersaing antar satu klan dengan klan lain. Siapa yang mampu membayar lebih, dia lah pemenangnya. Selain perang antar klan, inilah salah satu cara ampuh melumpuhkan klan yang lain.

Di negeri ini, presiden SBY sampai perlu membentuk Satgas Anti Mafia Hukum yang kerjanya mendeteksi penyakit kronis penegakkan hukum di bumi Merah Putih. Hasilnya, gebrakan pertama adalah terungkapnya sel super mewah Artalyta alias Ayin yang kemudian jadi bulan-bulanan publik. Banyak anggapan Ayin bagian dari sebuah jaringan mafia...entah jenis apa di negeri ini karena mafia di sini malu-malu kucing alias mafia belakang layar. Tak terendus siapa, tahu-tahu duit sudah di tangan. Hal ini yang kemudian di jadikan kegalauan luar biasa sang Penguasa. Publik pun sudah mafhum..persoalan penegakkan hukum di Indonesia bergantung jabat tangan antara penegak dengan penjahat (mafia). Yang kuat duitnya dia yang menang. Kasus Anggodo dan Anggoro jelas bagaikan bumi dan langit dibandingkan dengan Nenek Minah. Kasus Rp. 6,7 T duit negara jelas berbeda dengan kasus maling ayam...yang satu masih melenggang tawa, yang lain dihadapkan pada kehilangan nyawa.

Dalam sebuah game online, Mafia Wars, terekam jelas bagaimana mafia-mafia menjalankan operasinya. Ada level menyuap detektif polisi (New York), membunuh reporter investigasi (Moscow) dan "menghasilkan" politisi korup (Politico Corrupto-Cuba). Menariknya, Zynga belum merilis wilayah sarang mafia seperti diatas. Tak ada Jepang, Hongkong atau pun Italia. Yang ada New York, Kuba, Moscow dan sebentar lagi Bangkok dan Las Vegas. Bahkan Bangkok menjadi kota pertempuran antara Triad dan Yakuza. Namun apapun wilayahnya, modus operandi mafia selalu sama..paling tidak mirip-mirip. Mungkin pengembang perlu membuat kota Jakarta juga masuk dalam Mafia Wars..mengingat mengguritanya jaringan mafia hukum di negeri ini. Ah..sebentar..saya harus menaikkan level saya dulu di MW...

Sunday, January 24, 2010

Standing Party #2

Hari itu hari minggu, dimana sang mempelai pria mengucapkan janji pernikahannya di hadapan penghulu. Sang ayah mempelai wanita yang menikahkan, di saksikan ratusan orang undangan dan keluarga besar kedua mempelai. Sedikit canggung karena menurut pendengaran banyak orang, sang Ayah terdengar sedikit kepleset mengucapkan jumlah nominal mas kawin. Tetapi, toh di sahkan juga oleh saksi dari kedua keluarga.

Hari itu hari minggu...setelah teman-teman menghadiri akad nikah, maka sebagian rombongan perempuan yang baru datang di pagi harinya minta diantar ke hotel ber-AC yang nyaman. Padahal sang mempelai wanita sudah mempersiapkan banyak kamar untuk kami rombongan Jakarta, juga termasuk kamar untuk rombongan rekan yang menyusul. Tak apa lah, toh ketiga teman ini memang terlihat kusut dan lelah..dan mungkin perlu sedikit AC biar nyaman...

Hari itu hari minggu...akhirnya keputusannya adalah memilih untuk menjalani agenda masing-masing siang itu. Aku mengantar tiga teman ke hotel ber-AC ditemani Febro dan DW. Sisanya meng-agendakan hunting pernak-pernik sepeda. Sebelum mengantar DW pulang, mampirlah ke Prambanan yang berjarak cukup dekat dari hotel ber-AC itu. Sebetulnya iseng saja, karena dua kawan itu belum pernah ke Prambanan dan salah satunya bahkan belum pernah ke salah satu candi terbesar itu! Toh meski cuaca cukup panas, kami tetap mengarah ke timur kota Jogjakarta.

Hari itu hari minggu...hari libur, tetapi Prambanan tampak tidak begitu ramai, selain serombongan anak-anak sekolah yang masuk berbarengan dengan kami. Mungkin karena cuaca Jogja yang sedang cerah cenderung panas menyengat, banyak orang yang malas menuju komplek candi dan memilih berteduh di bawah pohon di taman-taman sekitar candi. Bagiku, menikmati candi haruslah melihatnya dari dekat dan menyentuhnya, bukan cuma mengawasi dari kejauhan. Jadi, meski panas, kami tetap melangkahkan kaki menuju bangunan-bangunan sisa peradaban masa lalu.

Hari itu hari minggu...cerah dan Febro langsung beraksi dengan kamera fotonya. Mengabadikan moment dan kemegahan candi secara bergantian. Bereksperimen dengan berbagai macam percobaan teknik fotografi...ah..untungnya ada model dadakan. DW yang tak sempat berganti kostum menjadi sasaran lensa. Kostumnya yang berwarna putih menjadi kontras dengan dinding-dinding candi yang menghitam legam. Tak begitu lama di Prambanan, karena hari semakin sore. Kami pulang dengan lelah...

Hari itu hari minggu...tetapi perjalanan masih panjang untuk menutup hari...

Thursday, January 21, 2010

Standing Party #1

Malam itu gerbong kereta Progo merambat lambat dari stasiun Senen ke arah timur. Penuh sesak yang tak pernah terbayangkan sebelumnya...seperti keadaan saat arus mudik lebaran. Sangat penuh, bahkan untuk berdiri saja sangat sulit. Dan kami berempat, terpaksa menjadi bagian dari ribuan penumpang berdiri lainnya menuju Jogjakarta dan sekitarnya.

Bagiku, berdiri dalam gerbong kereta menuju Jogjakarta bukanlah hal baru. Maklum, aku lebih suka menggunakan moda angkutan massal versi ekonomi ini jika melakukan perjalanan ke Jogjakarta. Dengan waktu tempuh yang sama dengan versi di atasnya, namun harga yang terpaut tiga kali lipat dari versi ekonomi membuatku lebih memilih rangkaian merah paling malam menuju timur pulau Jawa. Masalahnya, kami berempat harus berdiri hingga 7 jam...dan itu berarti Jakarta sampai Purwokerto. Tapi toh diantara kantuk dan lelah, kuat juga dua kaki ini berdiri menahan beban tubuh yang lunglai dan gontai, paling tidak sampai Purwokerto...