Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Saturday, April 16, 2011

Jakarta dan Segudang Ceritanya...

Jum'at malam, selesai makan malam dengan manu nasi bebek sambel super pedas, saya dan dua orang teman pindah tempat untuk ngobrol sambil ngopi. Bukan karena di warung nasi bebek itu tidak ada menu kopi panas, tapi karena warungnya memang sudah akan tutup. Jam menunjukkan 22.00 WIB. Di luar, jalanan Jakarta tetap macet, padat merayap meski malam terus semakin pekat.

Di tempat baru itu kami memesan kopi dan teh botol. Seketika dimulailah obrolan-obrolan ceria sesekali galau, sebuah kata yang mendadak populer di dunia maya. Seperti makna katanya yang menjelaskan situasi dimana manusia sedang sedu-sedan dan banyak pikiran, galau tak pernah terlupakan dalam setiap perbincangan di dunia nyata.

Kami bicara tentang masa depan, apa yang akan diraih beberapa tahun kedepan. Soal cita-cita, taruhan bir sampai soal pendamping hidup. Kami juga bicara soal Jakarta. Ya Jakarta. Kota yang selama ini jadi tumpuan hidup dan cita-cita kami. Bermula dari obrolan soal kegemaran baru kawan saya: Memotret kemacetan. Lantas berkembang kemana-mana. Intinya, dua orang kawan saya, juga saya, mengeluh tentang Jakarta dan segudang cita-citanya yang bagus di atas kertas. Keluhan khas para pekerja yang selalu terjebak dengan rutinitas yang sesungguhnya tak perlu: Lalulintas yang Macet.

Jakarta sudah berbenah soal kemacetan di beberapa hal. Pembangunan dan pengoperasian jalur busway TransJakarta adalah salah satunya. Belum lagi pembangunan jalan layang di beberapa titik kepadatan lalulintas Jakarta. Belum lagi cita-cita monorail dan subway, yang membuat Jakarta akan seperti New York. Apakah kemajuan itu perlu?

Saya bisa bilang TIDAK! Pesimis? Tidak juga...

Karena apa? Seketika konsep di atas kertas jadi berjalan, maka yang bergerak adalah ketidakteraturan. Toh Jakarta akan tetap macet, pembangunan jalan layang tak juga menjadi solusi cerdas Pemda DKI mengatasi kemacetan. Monorail dan Subway lebih bagus tercetak di maket yang di pajang di pameran-pameran semacam Jakarta Fair.

Macet juga mempengaruhi kondisi psikis para manusianya. Orang berkendara jadi tak sabaran, klakson itu sudah seperti orkestra wajib di pagi hari. Saling serobot, berkelahi di jalan jadi pemandangan lumrah. Pengendara motor serobot pedstrian adalah hal yang lumrah dan dimaklumi. Busway TransJakarta yang di buat untuk mengantisipasi kemacetan, justru menjadi sasaran kejengkelan calon penumpang karena sering telat tiba di halte yang imut-imut.

Bagi dua kawan saya ini, kebetulan keduanya perantau, kondisi ini membuat mereka dalam kondisi "menyerah". Mereka sudah muak dengan Jakarta. Keluhan dan kemuakan yang juga di alami jutaan warganya yang bertahan di sini. Penyebabnya adalah karena Jakarta masih menjadi ladang uang. Mau di hujat seperti apapun uang yang berputar di Jakarta adalah magnet utama para pejuang perantauan, juga saya.

Bagi saya, meski bukan orang Jakarta asli, tapi sudah dari belasan tahun beraktifitas di Jakarta membuat saya maklum akan kondisi kota ini. Dongkol pasti ada, tapi saya masih bisa mereduksinya sampai paling tidak belum putus asa. Ada juga loh teman saya yang nyaris putus asa, dan selalu bilang "Harus keluar dari Jakarta!!". Kemana? Tak ada jawaban pasti...

Bagi saya, kota itu punya ciri khas masing-masing. Jakarta pun demikian. Apapun anggapan kawan saya yang perantau tentang kota Jakarta, saya amini. Begitupun ketika seorang kawan komentar soal betapa slow motion-nya kota Solo dalam konteks negatif, saya juga maklum. Dia belum saja tinggal lebih dari seminggu di Solo...jika sudah seminggu, slow motion-nya Solo akan jadi menyenangkan... Juga hecticnya Jakarta...