Elang (Abimana Aryasatya), tokoh
utama Belenggu mengalami banyak gangguan psikologis dan mimpi buruk dalam
hidupnya. Selama itu pula ia dihantui oleh ketakutan terjadinya pembunuhan
mengerikan, yang dilakukan oleh sosok Badut Kelinci. Badut ini dicurigai Elang
akan melakukan pembunuhan di sebelah kamar kontrakannya. Target pembunuhan
Badut Kelinci ini adalah Senja dan Djenar (Laudya Cintya Bella). Sekuat tenaga
Elang memperingatkan Senja dan Djenar. Elang sendiri mencurigai suami Djenar (Verdi
Soelaiman), sebagai Badut Kelinci.
Elang sendiri digambarkan sebagai
sosok yang suka menyendiri, tertutup dan asik dengan dunianya sendiri. Sampai
satu saat ia bertemu Jingga (Imelda Therinne), seorang pelacur, di bar tempat
Elang bekerja. Jingga sendiri juga hinggap pada beberapa mimpi Elang.
Pertemuan Elang dengan Jingga
membuat keduanya dekat. Hingga pada satu momen, Jingga ingin membunuh
orang-orang yang telah memperkosanya. Elang dengan segala daya upaya berusaha
memenuhi keinginan Jingga. Elang sendiri sudah diingatkan oleh Oma (Bella
Esperance), tetangganya yang lain, tentang akan terjadinya sebuah tragedi.
Film ini sejatinya berkisah
tentang dendam dan pelepasan dendam itu sendiri. Bermain pada porsi psikologis
nyata dan imajinasi, Belenggu mampu membangun kebingungan penonton. Tokoh-tokoh
yang menjadi titik utama film ini “dihadirkan” melalui hipnosis Ibu Kebaya
(Jajang C. Noer) yang obsesif. Ibu Kebaya menggunakan medium tembang berlirik
Jawa untuk menjalankan hipnosisnya. Apa yang dilakukan Ibu Kebaya adalah
hipnosis tradisional, dengan demikian ia berbeda dengan hipnosis Barat yang “bekerja
sama” dengan target. Ibu Kebaya mampu menghipnosis Elang dan Jingga tanpa
persetujuan mereka. Psikologis nyata dan
tak nyata yang dibangun melalui hipnosis dan mitos Jawa ini menuntun Elang
pada akhirnya tak lagi percaya mana dunianya yang nyata, mana yang fana.
Tetapi, bagi pecinta film-film
thriller psikologis Hollywood, kebingungan ini tak terjalin apik sampai akhir
cerita. Entah bagaimana, saya sendiri nyaris bosan karena separuh film terakhir
yang mudah ditebak. Problem Elang sedikit banyak sudah terjawab di separuh awal
film ini. Hanya rasa penasaran terhadap Ibu Kebaya saja yang membuat saya tetap
duduk di kursi. Jika Upi riset lebih mendalam soal karakter Ibu Kebaya, film
ini akan lebih menarik secara pendekatan kultural (Jawa) dan tidak terjebak simbolisasi Badut Kelinci.
Beberapa adegan dalam Belenggu
terkesan dipaksakan, termasuk tewasnya salah seorang penyidik. Belenggu bahkan
tidak konsisten menjaga ruang universe sendiri. Padahal, akan lebih asik jika
Upi konsisten pada penciptaan universe ini. Badut Kelinci sendiri tidak cukup memberikan kesan teror dan kebencian yang membekas pada benak penonton seperti nyanyian Pong Hardjatmo di Babi Buta Yang Ingin Terbang. Yang menarik adalah bagaimana simbol-simbol
minoritas (Kristen) disandingkan dengan mayoritas (Jawa) dan Barat (Badut Kelinci) menjadi aksesoris
utama dalam thriller ini. Di tengah gemuruh ancaman konflik horizontal, kehadirannya
bisa membuat pemahaman dan toleransi terhadap minoritas semakin terjaga.
Belenggu menjadi babak baru
kehadiran genre thriller di industri Film Indonesia belakangan ini. Pemain
genre ini yang konsisten sampai saat ini baru Joko Anwar yang sudah
menghadirkan Kala, Pintu Terlarang dan Modus Anomali. Kehadiran genre thriller
psikologis semacam ini tentunya akan memberi warna baru bagi pelaku industri
dan memberikan alternatif tontonan ditengah kepungan (sekali lagi) horor-horor
murahan. Belenggu sendiri rilis resmi pertengahan 2012 melalui pemutaran di
Pifan, Korea Selatan. Rilis dalam negerinya baru dilakukan Pebruari 2013, dan
saat Belenggu rilis, horor-horor murahan mengepungnya…
*foto: http://www.muvila.com/sites/default/files/photos/Belenggu%20Still%20Photo%204%20Muvila.jpg *