Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Friday, March 08, 2013

Belenggu (2012): Badut Kelinci yang Menghantui



Elang (Abimana Aryasatya), tokoh utama Belenggu mengalami banyak gangguan psikologis dan mimpi buruk dalam hidupnya. Selama itu pula ia dihantui oleh ketakutan terjadinya pembunuhan mengerikan, yang dilakukan oleh sosok Badut Kelinci. Badut ini dicurigai Elang akan melakukan pembunuhan di sebelah kamar kontrakannya. Target pembunuhan Badut Kelinci ini adalah Senja dan Djenar (Laudya Cintya Bella). Sekuat tenaga Elang memperingatkan Senja dan Djenar. Elang sendiri mencurigai suami Djenar (Verdi Soelaiman), sebagai Badut Kelinci.

Elang sendiri digambarkan sebagai sosok yang suka menyendiri, tertutup dan asik dengan dunianya sendiri. Sampai satu saat ia bertemu Jingga (Imelda Therinne), seorang pelacur, di bar tempat Elang bekerja. Jingga sendiri juga hinggap pada beberapa mimpi Elang.

Pertemuan Elang dengan Jingga membuat keduanya dekat. Hingga pada satu momen, Jingga ingin membunuh orang-orang yang telah memperkosanya. Elang dengan segala daya upaya berusaha memenuhi keinginan Jingga. Elang sendiri sudah diingatkan oleh Oma (Bella Esperance), tetangganya yang lain, tentang akan terjadinya sebuah tragedi.

Film ini sejatinya berkisah tentang dendam dan pelepasan dendam itu sendiri. Bermain pada porsi psikologis nyata dan imajinasi, Belenggu mampu membangun kebingungan penonton. Tokoh-tokoh yang menjadi titik utama film ini “dihadirkan” melalui hipnosis Ibu Kebaya (Jajang C. Noer) yang obsesif. Ibu Kebaya menggunakan medium tembang berlirik Jawa untuk menjalankan hipnosisnya. Apa yang dilakukan Ibu Kebaya adalah hipnosis tradisional, dengan demikian ia berbeda dengan hipnosis Barat yang “bekerja sama” dengan target. Ibu Kebaya mampu menghipnosis Elang dan Jingga tanpa persetujuan mereka.  Psikologis nyata dan tak nyata yang dibangun melalui hipnosis dan mitos Jawa ini menuntun Elang pada akhirnya tak lagi percaya mana dunianya yang nyata, mana yang fana. 

Tetapi, bagi pecinta film-film thriller psikologis Hollywood, kebingungan ini tak terjalin apik sampai akhir cerita. Entah bagaimana, saya sendiri nyaris bosan karena separuh film terakhir yang mudah ditebak. Problem Elang sedikit banyak sudah terjawab di separuh awal film ini. Hanya rasa penasaran terhadap Ibu Kebaya saja yang membuat saya tetap duduk di kursi. Jika Upi riset lebih mendalam soal karakter Ibu Kebaya, film ini akan lebih menarik secara pendekatan kultural (Jawa) dan tidak terjebak simbolisasi Badut Kelinci.

Beberapa adegan dalam Belenggu terkesan dipaksakan, termasuk tewasnya salah seorang penyidik. Belenggu bahkan tidak konsisten menjaga ruang universe sendiri. Padahal, akan lebih asik jika Upi konsisten pada penciptaan universe ini. Badut Kelinci sendiri tidak cukup memberikan kesan teror dan kebencian yang membekas pada benak penonton seperti nyanyian Pong Hardjatmo di Babi Buta Yang Ingin Terbang. Yang menarik adalah bagaimana simbol-simbol minoritas (Kristen) disandingkan dengan mayoritas (Jawa) dan Barat (Badut Kelinci) menjadi aksesoris utama dalam thriller ini. Di tengah gemuruh ancaman konflik horizontal, kehadirannya bisa membuat pemahaman dan toleransi terhadap minoritas semakin terjaga.

Belenggu menjadi babak baru kehadiran genre thriller di industri Film Indonesia belakangan ini. Pemain genre ini yang konsisten sampai saat ini baru Joko Anwar yang sudah menghadirkan Kala, Pintu Terlarang dan Modus Anomali. Kehadiran genre thriller psikologis semacam ini tentunya akan memberi warna baru bagi pelaku industri dan memberikan alternatif tontonan ditengah kepungan (sekali lagi) horor-horor murahan. Belenggu sendiri rilis resmi pertengahan 2012 melalui pemutaran di Pifan, Korea Selatan. Rilis dalam negerinya baru dilakukan Pebruari 2013, dan saat Belenggu rilis, horor-horor murahan mengepungnya…

*foto: http://www.muvila.com/sites/default/files/photos/Belenggu%20Still%20Photo%204%20Muvila.jpg *