Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Wednesday, June 18, 2014

CAHAYA DARI TIMUR: BETA MALUKU (2014): MERAWAT PERDAMAIAN DAN KEBERAGAMAN.




Sani Tawainella. Tak banyak yang tahu nama itu. Mungkin, sebelum film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku ini dirilis, hanya orang-orang Tulehu dan Passo, Maluku yang tahu nama itu. Sani, mantan pemain muda berbakat sempat ikut Timnas PSSI U-15 di Piala Pelajar Asia 1996 di Brunei Darussalam. Hanya saja, Sani yang cidera kemudian harus melupakan mimpinya bergabung dengan PSSI Baretti, sebuah tim berisi anak-anak muda Indonesia berbakat yang diberangkatkan ke Italia untuk menimba ilmu sepakbola.

Sani beralih menjadi tukang ojek. Waktu itu, Ambon sedang panas-panasnya. Kerusuhan berbau agama merebak diseantero Ambon. Dalam sebuah momen, ia melihat anak kecil tertembak di tengah-tengah kerusuhan. Tulehu, desa kelahiran Sani, juga tak luput dari kerusuhan ini. Setiap ada bunyi tiang listrik dipukul, saat itu juga terjadi rusuh massa. Sani yang tak ingin anak-anak di desanya menjadi korban kerusuhan, lantas mengajak anak-anak itu bermain sepakbola.

Sani Tawainella (Chico Jericho) bersama Rafi Lestaluhu melatih anak-anak Tulehu bermain sepakbola, sampai akhirnya mereka pecah kongsi. Rafi tetap bersama Tulehu Putra, dan Sani melatih SMK Passo. Kedua tim berhadapan pada babak final sebuah kompetisi sepakbola lokal yang dimenangkan Tulehu Putra. Arus lurus menceritakan ada kompetisi sepakbola nasional di Jakarta yang membuat Maluku harus membuat “timnas”. Timnas ini beranggotakan anak-anak Tulehu dan Passo.

Disinilah kisah bermulai. Seperti film-film bertema olahraga (sport) yang lain, perjalanan film ini berkutat antara keutuhan tim, semangat juang dan motivasi. Dalam Beta Maluku, unsur meredam konflik berbau SARA menjadi kampanye tersendiri. Terlihat bagaimana dendam antar penduduk desa masih ada, bahkan setelah keduanya disatukan dalam sepakbola. 

Bukan hal mudah meredam konflik dan kemudian merawat perdamaiannya. Ada saja benih-benih dendam seperti sikap Salembe (Bebeto Leutally) yang kemudian membenci rekan satu tim yang berasal dari Passo. Sani terlihat susah payah menjaga hal-hal buruk dan nyaris menyerah. Sani sendiri punya masalah lain dengan keluarganya.

Seperti halnya kisah-kisah heroik pelatih olahraga, ada momen-momen penting yang membuat kita berfikir tentang masa depan anak-anak ini nantinya. Ada kegusaran yang mengganggu para pelatih itu. Seperti Ken Carter dalam Coach Carter (2005) yang risau akan masa depan anggota tim basketnya yang hidup dilingkungan keras dan penuh kekerasan. Atau Kim Won-Kang di A Barefoot Dream (2010) yang mati-matian berusaha membawa Timnas U-16 Timor Leste bertanding di Jepang.

Pada Sani, kekhawatiran terhadap nasib anak-anak Maluku yang penuh dendam akibat kerusuhan berusaha diredam dengan sepakbola. Bahkan demi mewujudkan impian besarnya, Sani rela mengabaikan keluarganya. Namun, baik Sani maupun Kim, misalnya, ingin sesuatu yang mereka mulai, akan ada hasilnya diujung nanti.

Bagai pisau bermata dua, sepakbola sendiri, meski bisa mendamaikan, namun sering juga menjadi lahan subur konflik fanatisme berlebihan yang justru bisa membunuh sportivitas itu sendiri. Bagi sebagian orang, sepakbola adalah agama, dan fanatisme terhadap klub tertentu menjadi mazhab yang harus dibela sampai mati. Pada masa kerusuhan Ambon, Tulehu dan Passo mewakili dua entitas berbeda yang bertempur di lapangan hijau: Tulehu, Islam dan Passo, Kristen. Mau tidak mau, ada persoalan dendam yang tidak mudah terselesaikan begitu saja. Sampai-sampai Salembe menaruh dendam kesumat. 

Cahaya Dari Timur: Beta Maluku sesungguhnya film apik yang musti ditonton bersama-sama. Film ini tidak saja menghadirkan kisah inspiratif nyata dari tanah Maluku, tetapi juga berbagai usaha merawat perdamaian pasca konflik digambarkan disini. Karakter-karakter seperti Sani, Rafi, Yosef, Jago, Salembe, Kasim, Fanky, Akbar dan lain-lain adalah nyata adanya. Bahkan, Alfin Tualasamony (Burhanudin Ohorella)  adalah contoh paling hidup pesepakbola sukses hasil didikan Sani. Tak ada penggambaran berlebihan lansekap khas Indonesia Timur yang indah, karena ini bukan film pemandangan.

Film yang berangkat dari kisah nyata memang punya kesulitan menemukan plotnya sendiri. Banyak karakter penting yang diusahakan masuk dalam pengadeganan. Namun, beberapa terkesan seperti “ujug-ujug ada”. Seperti Sofiyan (Glenn Fredly) atau Bapak Raja. Kedua tokoh ini memang penting dalam garis tangan Sani, hanya saja kehadirannya cuma sekedar tempelan. Atau saat penggambaran konflik yang tampaknya mau dihadirkan cepat tapi malah membuat arus cerita jadi sedikit lambat dan cenderung "memaksa" penonton menikmatinya. Juga berkali-kali istri Sani, Haspa (Shafira Umm), mengeluh soal kondisi keuangan dan kegiatan Sani, sepertinya karena terlalu sering ditampilkan, akhirnya jadi lebay. Hanya Salembe yang sukses menjadi pencuri adegan pada setiap kemunculannya.

Kesulitan-kesulitan tadi ditutup dengan sempurna berkat naskah yang diusahakan menggunakan dialek Ambon. Buat penonton awam yang belum pernah ke Ambon, akan ditunjukkan bagaimana obrolan di Ambon itu mengalir, mirip seperti orang bernyanyi. Kegigihan para aktor dan pemain untuk menggunakan dialek Ambon cukup untuk menggambarkan bahwa ini kisah tentang Maluku. Walhasil, keluar bioskop rasanya mendadak jadi bagian dari Ambon dan Maluku.

Seperti film-film bertema olahraga yang lain,  puncak emosi adalah saat tim tersebut merasa dibawah tekanan dan putus asa, dan pelatih akan memompa motivasi pemainnya. Chico berhasil menghadirkan emosi tersebut ke penonton lewat orasinya tentang Maluku di kamar ganti. "Ini bukan Islam, ini bukan Kristen, ini Beta.. Maluku!" Sesungguhnya, pengadeganan seperti inilah kunci utama film-film bertema olahraga.

Menonton film-film bertema olahraga itu selalu mengasyikkan. Tidak hanya soal harubiru kemenangan di lapangan, tetapi juga menonton bagaimana usaha mencapai kemenangan di luar lapangan adalah juga hal terpenting. Bagi Sani, usahanya meredam konflik lewat sepakbola adalah pencapaian luar biasa. Tantangan beratnya, baik bagi Sani maupun bagi kita semua, adalah merawat perdamaian itu sendiri. Film ini, bagaimanapun, adalah salah satu usaha merawat perdamaian dan meredam konflik. Salut!

*kredit foto: http://cahayadaritimur.com/#galeri

Sunday, March 23, 2014

SEPATU BARU (2013): SEBUAH KEINGINAN SEDERHANA




Diganjar penghargaan Crystal Bear-Special Mention untuk kategori Generation KPlus  pada Berlinnale International Film Festival 2014, membuat saya bergumam “pantas dikasih penghargaan, filmnya bagus gini” saat menontonnya. Film yang manis, begitu saya menyebutnya. Manis bukan saja pada presentasi visual, tapi juga tutur cerita minim dialog yang kaya makna. 

SEPATU BARU (2013) berkisah tentang seorang gadis kecil yang berjuang menghentikan hujan agar bisa mengenakan sepatu barunya. Berlatar lansekap perkampungan padat di Makassar, Sulawesi Selatan, Aditya Ahmad, tidak mengeksploitasi kekumuhan wilayah, tapi justru bermain-main dengan rapat dan sempitnya lokasi membentuk bingkai-bingkai indah. Meski demikian, problem khas masyarakat urban di kampung padat penduduk tetap disajikan.

Seorang gadis cilik (Isfira Febiana) berkeliling kampung padat penduduk untuk melemparkan celana dalam bekas pakai dengan tujuan menghentikan hujan. Ia punya keinginan sederhana, agar bisa mengenakan sepatu barunya tanpa harus terkena cipratan hujan atau pun genangan air akibat hujan. Filmnya bergerak cepat ke arah lain: problem khas urban. Soal genangan air, rumah bocor, pompa air dan toilet umum, sampai janji anti banjir politisi. 

Durasi 13 menit dimanfaatkan dengan baik oleh SEPATU BARU. Keinginan sederhana Si Gadis Cilik diramu dengan kritik-kritik sosial yang membuat penonton tersenyum sepanjang film. Hujan sebenar-benarnya hujan yang  bagi sebagian pembuat film bisa jadi “musuh bersama”, justru menjadi “sahabat” bagi film ini. Semuanya disajikan alami dan manis, termasuk adegan pembuka film ini.

Seperti halnya di Jakarta, masyarakat urban Makassar pun punya masalah yang sama: keterbatasan lahan yang memaksa mereka tinggal berdempetan yang tentunya ber-efek domino ke sejumlah perkara sosial yang lain yang mungkin timbul. Diantara sejumlah persoalan, terselip penyelesaian yang murah meriah yang melibatkan intuisi mitos dan kisah rakyat yang beredar di masyarakatnya. Dalam kasus Sepatu Baru adalah bagaimana menghentikan hujan.

Pada beberapa tradisi, menghentikan hujan atau menunda hujan menjadi sangat penting saat akan berlangsungnya sebuah perayaan (besar) dimana hujan tidak diharapkan turun. Di banyak daerah di Indonesia, praktek menunda atau menghentikan hujan bisa dilakukan dengan cara sederhana, menggunakan bumbu dapur dan tusuk seperti sate lalu tanam di tiap sudut halaman rumah. Ada lagi yang membalikkan sapu lidi. Yang paling “fenomenal” adalah syarat menunda hujan bagi orang-orang yang akan melaksanakan pesta pernikahan: melempar celana dalam (calon) mempelai wanita ke atap rumah.

Entah darimana Si Gadis Cilik ini mendapatkan ide melempar celana dalam tak usah dipersoalkan. Ini adalah cerita tentang tradisi dan mitos di Indonesia dalam bentuk lain. Mitos yang tentunya ditularkan dari mulut ke mulut lengkap dengan bumbunya dan sejumlah kisah keberhasilannya. Perkara Si Gadis Cilik ini berhasil atau tidak, SEPATU BARU menunjukkan kritik yang lain atas mitos menghentikan hujan.






Sunday, March 09, 2014

12 Years a Slave (2013): Jalan Panjang anti Perbudakan



“Saya dedikasikan penghargaan ini untuk orang-orang yang selamat dari perbudakan dan 21 juta orang yang masih menderita karena perbudakan saat ini..”
-          Steve Mc Queen (Sutradara 12 Years a Slave) saat pidato penerimaan Oscar untuk kategori Best Picture.

Solomon Northup, adalah freeman kulit hitam di New York. Hak sebagai orang bebas ini adalah jaminan perlakuan setara atas hak-hak yang juga dimiliki warga kulit putih lainnya dihadapan hukum Amerika Serikat pada abad 18 dan 19. Hak sebagai orang bebas bagi warga kulit hitam ini sangat sulit didapat, terlebih jika yang bersangkutan pernah menjadi budak. Hak istimewa ini didapat warga kulit berwarna melalui serangkaian panjang perdebatan di muka pengadilan. Solomon Northup adalah sebagian kecil warga kulit hitam New York yang mendapat hak tersebut.

Pada 1841, Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor) yang mahir bermain biola ikut serta dalam rombongan sirkus keliling. Tergiur akan pendapatan lebih, Solomon pun turut serta untuk pertunjukan di Washington DC. Hidup Solomon berubah total saat tiba di DC. Solomon dijual sebagai budak dan dikapalkan menuju Selatan yang masih melegalkan perbudakan saat itu. Usaha Solomon menunjukkan bahwa dirinya adalah warga Negara bebas tidak berhasil, bahkan penjual budak melekatkan nama baru pada Solomon: Platt.

“karir budak” Platt dimulai saat ia bekerja pada William Ford (Benedict Cumberbatch), seorang yang digambarkan ramah dan baik hati. Platt mengabdi pada Ford dengan cukup baik, bahkan atas prestasinya, Ford menghadiahi Platt sebuah biola. Namun, kegemilangan Platt memicu kecemburuan salah seorang mandor, John Tibeats (Paul Dano). Kecemburuan ini membuat Platt disiksa terus menerus oleh Tibeats, sehingga Ford yang berhutang akhirnya memutuskan menyerahkan Platt kepada tuan tanah lainnya, Edwin Epps (Michael Fassbender).

Ditangan Epps, kondisi para budak tidaklah lebih baik. Platt harus menerima cambukan setiap hari karena jauh dibawah target panen kapas. Bahkan, pencapaian panen kapas perhari kalah dengan Patsy (Lupita Nyong’o). Platt dan sejumlah budak sempat “dipinjamkan” Epps kepada Hakim Turner. Sekembalinya dari peminjaman, Platt dan budak lainnya kembali menerima siksaan dan cambukan dari Epps. Peluang Platt untuk kembali ke rumah dan menjadi warga Negara yang bebas muncul saat bertemu Bass (Brad Pitt), seorang pendukung anti perbudakan.

Duabelas tahun menjadi budak, Solomon akhirnya kembali menjadi warga Negara yang bebas. Film ini disandarkan pada kejadian sebenarnya seorang Solomon Northup yang menulis buku “12  Years a Slave” yang berisi pengalamannya menjalani hidup sebagai seoran budak. Penggambaran kondisi budak kulit hitam pada masa abada 19 direkam sangat baik. Sejumlah master pemilik budak digambarkan (masih) memiliki sifat kemanusiaan, meskipun tidak bisa berbuat banyak karena keadaan.

Film ini tidak saja merekam perjalanan hidup Solomon Northup, tapi juga merekam budak dan perbudakan. Pada masanya, budak dan perbudakan menjadi sah dan legal menurut undang-undang di Negara-negara bagian selatan. Berbeda dengan utara yang mulai bergerak ke arah industri mesin, selatan masih mengandalkan pada komoditi pertanian. Lahan-lahan pertanian komoditi kapas, tebu, dan sejumlah komoditi pertanian lainnya tersebar di kawasan selatan, mulai dari Mississipi, Lousiana, Virginia, Georgia, Alabama, Texas dan sejumlah Negara bagian lainnya. Komoditi berbasis lahan yang besar ini memicu kebutuhan tenagakerja yang sangat banyak. Tenagakerja ini berasal dari budak-budak yang diperjualbelikan secara legal dan dilindungi UU setempat.

Budak-budak di AS, umumnya berasal dari Afrika. Sembilanbelas budak pertama datang mendarat di Virginia dibawa oleh pedagang budak Belanda pada 1619. Gelomban kedatangan berikutnya meluas karena permintaan akan budak setiap tahun meningkat. Diperkirakan ada sekitar 600.000 orang menjadi budak di AS selama kurun waktu dua abad perbudakan di AS. Ada yang diimpor langsung dari Afrika, maupun yang menjadi budak karena keturunan. Di masa itu, seorang yang lahir dari budak otomatis akan menjadi budak.

Berakhirnya karir budak seseorang dapat diperoleh hanya oleh dua cara: meninggal dunia atau memperoleh hak istimewa melalui persidangan. Kondisi hidup para budak masa itu mempercepat budak-budak meninggal. Siksaan berupa cambukan, pukulan, makanan yang tidak layak diterima budak-budak tersebut. Banyak pula yang hidupnya berakhir diujung senapan atau tiang gantungan karena mencoba kabur. Tanpa harus menghadapi pengadilan, seorang budak bisa tewas disiksa ditangan pengawas atau pemilik budak karena tuduhan mencuri paku. Hal seperti ini sering terjadi karena pemilik budak menganggap budak adalah properti, hak milik mereka yang bisa mereka perlakukan apa saja.

Budak perempuan pun tak kalah mengenaskan. Seringkali budak perempuan dicemburui istri-istri pemilik budak. Penyiksaan pun tidak hanya dilakukan master pemilik budak, tetapi juga istri-istri mereka bisa menyiksanya. Selain juga disiksa dan dicambuk, tak jarang budak perempuan harus menerima perkosaan yang dilakukan pemilik budak, hingga hamil dan melahirkan. Anak yang nantinya dilahirkan pun harus menanggung status sebagai budak sejak dalam kandungan, meskipun secara fakta adalah darah daging hasil perkosaan si pemilik. Dalam film 12 Years a Slave, Patsy mewakili bagaimana perlakuan pemilik budak terhadap budak perempuan.

Perbudakan sendiri melanggengkan White Collor Supremacy. Supremasi Kulit Putih ini mengarah pada rasisme. Sejak Presiden Lincoln mengakhiri perbudakan (terekam dengan baik melalui Lincoln (2012) karya Steven Spielberg), pemisahan warga Negara berdasarkan warna kulit tidak serta merta hilang saat perbudakan memasuki masa akhir. Bahkan di Negara-negara bagian AS di Selatan yang kental dengan sejarah perbudakan, rasisme masih mencuat. Supremasi Kulit Putih ini biasanya didengungkan oleh para pendukung-pendukung fasisme agama dan berlindung di balik ayat-ayat kitab suci. Maka tak heran, pada 12 Years a Slave misalnya, pemilik budak adalah juga pengkhotbah ayat suci yang unggul, berlindung pada ayat ayat Tuhan. Memasuki abad 20, kelindan supremasi kulit putih dan agama (Kristen) muncul lewat Ku Klux Klan dengan topeng putihnya yang khas.

Banyak film-film Hollywood mengangkat tema-tema perbudakan dan rasisme terhadap kulit hitam. Selain 12 Years a Slave, film fenomenal lainnya adalah Lincoln (2012) dan Django: Unchained (2012). Juga ada Crash (2005), Rosewood (1997), Mississippi Burning (1988) dan Driving Miss Daisy (1989). Crash dan Driving Miss Daisy bahkan diganjar Oscar untuk Best Picture. 

Khusus 12 Years a Slave, mendapat Best Picture Academy Award 2014 adalah sesuatu yang emosional, mengingat Steve McQueen adalah berkulit hitam. McQueen bersama Penata Kamera Sean Bobbit berusaha menghadirkan Solomon sesuai deskripsi buku dan sejarahnya. Syuting pun dilakukan di tempat-tempat dimana perbudakan di AS terjadi.  Bobbit menghadirkan gambar-gambar yang terasa dekat dan “menyiksa” penonton. Bukan hal mudah menonton film seperti ini yang merekam gesture dan aksi para pemain yang total bermain dengan pendekatan visual yang kebanyakan medium dan close up shot. Penonton pun larut dalam emosional yang sama seperti yang ingin ditunjukkan McQueen. McQueen tampaknya tidak ingin penonton larut dalam masa panjang Solomon menjadi budak dengan tidak menghadirkan keterangan waktu dan tempat. Duabelas tahun menjadi budak adalah pengalaman pahit yang panjang bagi Solomon, 134 menit sudah lebih dari cukup bagi penonton untuk ikut merasakan pengalaman Solomon tanpa harus terjebak pada indikator waktu dan tempat.

Para pemain juga menghadirkan kemampuan terbaiknya untuk film ini. Bahkan Fassbender dikabarkan sempat pingsan setelah adegan pemerkosaan. Sementara Lupita Nyong’o juga tak kalah emosionalnya karena memerankan budak perempuan yang leluhurnya berasal dari Afrika. Lupita, yang baru kali ini bermain film layar lebar juga diganjar Oscar untuk kategori Pemain Pendukung Wanita Terbaik.

12 Years a Slave (2013) memberikan perspektif baru atas perbudakan. Perspektif yang tentunya jauh berbeda dengan serial televisi Brasil Sinha Moca (1986) atau di Indonesia lebih dikenal dengan Little Missy. Perbudakan sendiri tidak serta merta hilang. Seperti kata McQueen, masih ada 21 juta orang terlibat perbudakan modern. Perbudakan pada masa kini mengubah bentuknya, mulai dari pekerja anak, pekerja domestik, human trafficking, prostitusi, pekerja paksa penjara dan lain-lainnya. Di Indonesia, praktek-praktek perbudakan modern banyak terjadi, termasuk soal pekerja migran.

Solomon Northup, memberi pesan yang masih relevan hingga kini: Hapuskan perbudakan. Semoga kita tidak hanya mengamini, tapi juga turut beraksi. Dan jalan itu masih panjang...

*kredit foto: http://www.imdb.com/title/tt2024544/?ref_=ttqt_qt_tt *

Monday, February 24, 2014

KILLERS (2014) : PSIKOPAT SETENGAH-SETENGAH




Seorang jurnalis, Bayu (Oka Antara), sedang  berada di titik terbawah karir jurnalistiknya. Investigasi jurnalistiknya terhadap Dharma (Ray Sahetapy), menemui jalan buntu. Dharma melalui pengacaranya, Robert (Epy Kusnandar), Dharma menyatakan tidak bersalah dan tidak melakukan kejahatan apapun. Obsesi menemukan kejahatan Dharma  kemudian menjadi tujuan Bayu. 

Nomura Shuhei (Kazuki Kitamura), seorang eksekutif di Jepang, menunggah video-video pembunuhan yang dilakukannya ke internet. Nomura mendapat kepuasan tersendiri saat hint videonya mendapat jumlah penonton tinggi. Tiap video dianggap Nomura sebagai karya besar dan selalu melakukan perubahan dalam setiap aksinya. Bayu adalah salah seorang “penggemar” video-video Nomura.

Baik Nomura maupun Bayu menyimpan sisi gelap yang berbeda. Nomura dihantui oleh sikap ingin memiliki melalui pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya. Nomura digambarkan seorang yang dingin, kaku tetapi punya kharisma di mata perempuan yang menjadi targetnya. Nomura memilih targetnya secara acak: pekerja kantoran, pekerja seks komersial, teman dekat bisa menjadi korban Nomura selanjutnya. Karakter Nomura dibuat sedemikian rupa tanpa konflik berarti, sehingga Nomura bisa “bekerja lebih baik dan lebih sadis”. Tak ada kerumitan dalam karakternya: Pilih, Ambil, Bunuh. Nomura adalah pembunuh sejati, seorang psikopat yang unggul. 

Sementara Bayu, karakternya bertele-tele sehingga membuat kehadiran Dina (Luna Maya) sebagai istrinya terlihat sebagai sebuah pemanis dan tak berpengaruh apa-apa pada jalan cerita. Bayu juga seorang yang lebih rumit. Kariernya berada pada titik terendah dan rumahtangganya diujung kegagalan, belum lagi obsesi kepada sosok Dharma, membuat Bayu terjebak dala kesendirian. Salah satu “hiburan” Bayu adalah menonton video-video pembunuhan Nomura.

Jika Nomura digambarkan sebagai pembunuh berpengalaman, Bayu terjebak dalam sisi gelapnya karena insiden pembelaan diri. Insiden itu menggiring Bayu melakukan pembunuhan-pembunuhan selanjutnya dengan bimbingan Nomura. Ya, Nomura bisa menghubungi Bayu via internet dan “memaksa” Bayu lebih baik lagi dalam melakukan aksinya. Berbeda dengan Nomura, Bayu lebih selektif memilih korbannya. Selain korban pertama, korban-korban Bayu adalah bukti  obsesif Bayu terhadap Dharma.

Killers (2014) garapan The Mo Brothers akan bisa dinikmati lebih gelap jika karakter-karakter tidak penting di sekitar Bayu bisa diminimalisir. Oka Antara memang bermain bagus, tapi tidak cukup bisa menggambarkan Bayu yang galau dan punya sisi hitam. Dengan kata lain, karakter-karakter diluar pendukung Dharma tidak menjadi pemicu serius bagi Bayu untuk melakukan aksinya. Bayu bisa berhenti pada sikap obsesifnya terhadap Dharma tanpa harus ditambahkan monosodiumglutamat Dina dan keluarganya. Sikap obsesif Bayu ini penting dan bisa menjadi penguat cerita tanpa bertele-tele terjebak pada urusan yang lain. Bayu terlalu ragu menjadi psikopat.

Pada Nomura, ia “nyaris” menjadi manusia normal saat bertemu Hisae (Rin Takashi). Ia menunjukkan sikapnya sebagai seorang pelindung, namun tidak meninggalkan sifat kejamnya. Tidak berpanjang-panjang, Nomura tetap menjadi sosok yang punya dua sisi bertolak belakang tanpa penceritaan yang mendayu-dayu.

Sebagai film thriller psikologis, tak ada tekanan berarti pada penonton saat film ini diputar. Dimaksudkan sebagai film yang gelap, kejam, dan berdarah-darah, Killers sangat layak tonton mentok hanya pada apiknya akting Oka Antara dan karakter Nomura. Meskipun demikian, bertemunya Bayu dan Nomura tidak juga memberikan tekanan berarti pada Killers.

*kredit foto: http://www.imdb.com/title/tt2409300/ *