“Piro regone?”
Satu-satunya kalimat Jarot (Joned Suryatmoko) yang cukup mewakili kegundahan
hatinya. Kalimat tanya itu muncul saat Jarot menawar pelacur. Ya, meski Jarot
sudah memiliki istri, namun Ning (Christy Maharani) tampaknya kehilangan gairah atas Jarot dan
menolak melakukan hubungan suami-istri. Apesnya lagi, si Pelacur juga tak mau
melakukan sex dengan Jarot, namun, senada dengan Ning, tak menolak oral sex.
Jarot menjadi sosok dengan hidup yang monoton, dan parahnya lagi itu adalah
kesialan dalam hidupnya.
Vakansi Yang Janggal Dan Penyakit Lainnya sesungguhnya tidak
berfokus pada Jarot, tetapi pada Ning dan Mur (Muhammad Abee Baasyin). Ning yang awalnya bekerja pada toko
pakaian bekas, pindah ke toko mebel. Di sana dia ditugaskan sang pemilik toko
mengantar sofa ditemani Mur yang mengemudikan mobil. Perjalanan mengantar sofa
Jogja-Temanggung yang seharusnya hanya dua jam, menjadi perjalanan panjang 3
hari dua malam. Perjalanan yang janggal inilah pokok penyakit dalam cerita film
ini.
Sepanjang perjalanan, dialog-dialog sederhana yang umum
menjadi menu utama. Mulai dari basa-basi soal pekerjaan, ketidaksukaan difoto
menggunakan telepon genggam, sindiran perempuan tak bisa baca peta, pernikahan,
sampai soal penyakit cacar. Seluruhnya dialog menarik yang dibangun dengan santai,
tidak terburu-buru. Lantas, dimana porsi “Penyakit Lainnya”?
Film ini tampaknya menempatkan kesetiaan sebagai poin utama
dan menggelontorkan kritik terhadap penyimpangan-penyimpangan, -menurut
masyarakat umum salah-, yang dilakukan oleh sebagian orang. Simak begitu
bebasnya seorang supir menawar dua pelacur tua di halaman parkir penginapan. Kehidupan
rumahtangga Ning dan Jarot juga sudah “menyimpang” karena tidak lagi hangat.
Hal ini tentu saja menimbulkan penyakit. Meski ada obrolan tentang penyakit
cacar, tapi bukan penyakit fisik yang dimaksud oleh film ini, melainkan
penyakit sosial.
Ketidaksetiaan juga merupakan penyakit sosial. Yosep Anggi Noen
memberi porsi yang agak filosofis ketika akhirnya Ning dan Mur tidur seranjang.
Mur menegaskan bahwa Ning telah membunuh satu manusia. Kalimat filosofis ini
bisa jadi ditujukan kepada Mur sendiri yang takut akan dosa atau kepada Jarot
yang dikhianati Ning. Atau justru Ning sendiri yang kehilangan akal sehat.
Kehidupan keluarga Ning sendiri sudah dingin dan beku. Tak ada dialog, ataupun
kehangatan, antara Jarot dan Ning. Jarot tak khawatir terhadap istrinya, meski
Ning pergi berhari-hari. Dan Ning meski awalnya peduli, namun akhirnya acuh
terhadap Jarot.
Sofa yang tidak segera diantarkan kepada pembelinya
sepertinya ingin menyimbolkan “beratnya beban masalah hidup” manusia yang, bisa
jadi, penyelesaiannya tak secepat yang diharapkan. Ia bisa menempuh jarak yang
jauh untuk bisa selesai, atau atas pilihan pemangkunya, jarak tersebut bisa
saja dekat namun enggan diselesaikan. Maka ketika Ning memutuskan ingin
menyelesaikan misinya, sesungguhnya ia ingin cepat menyelesaikan masalahnya
sendiri.
Perjalanan yang janggal ini pada akhirnya menuntun kita
untuk memahami mengapa “penyakit-penyakit” dalam satu tatanan sosial itu ada.
Penonton tanpa disadari digiring untuk memahami siklus sebab akibat yang ada
pada sebuah kejadian. Pada akhirnya, penilaian terhadap “penyakit lainnya”
berpulang pada sejauh mana orang permisif terhadap kejanggalan-kejanggalan yang
ada dalam tatanan sosial masyarakatnya. Bahkan, logika janggal perjalanan
superpanjang Jogja-Temanggung adalah
sebuah penyakit itu sendiri.
Saking janggalnya, seseorang yang melabeli dirinya Kritikus
Sinema, mengkategorikan Vakansi sebagai film dokumenter panjang. Lupa bahwa ini
adalah film fiksi…
*kredit foto: filmstarts.de*