Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Friday, September 04, 2009

Mujahid yang sesungguhnya Mujahid

Mariadi (Jojon)
*foto oleh Probo Kushartoyo*

"Mau jadi Haji!!!"

Demikian jawaban Mariadi atau biasa di sapa Jojon. Jojon, 11 Tahun, adalah anak dari pasangan Ibu Dayak dan Ayah yang Jawa. Dia tinggal bersama Ayah dan Ibunya di pemukiman Dayak Tunjung, Kampung Karangan, Manor Bulatn, Kutai Barat. Kampungnya terletak di seberang Melak, kota kecil yang bisa ditempuh sepuluh sampai duabelas jam dari Balikpapan menggunakan mobil. Dari Melak, menyeberang sungai Mahakam dan menyusuri jalan gravel selama 30 menit. Sepanjang jalan akan melewati lahan-lahan kritis yang dulunya berupa hutan lebat. Penggundulan masif hutan Kalimantan hanya menyisakan daerah yang lebih mirip gurun dan semak.


Banyak Babi
*foto oleh Harmandita*

Di kampung dimana Jojon tinggal mayoritas penduduknya mualaf. Mereka kebanyakan dulunya adalah penganut animisme, kepercayaan masyarakat Dayak. Di tengah-tengah penduduk Dayak hadir para transmigran, mayoritas dari Jawa Timur. Mereka ini berasimilasi, dan sedikit banyak menyebarkan agama Islam. Ada yang sudah mukim di sana belasan tahun membawa serta keluarganya, ada juga yang menikah dengan penduduk setempat. Namun, meski kebanyakan penduduk Dayak mualaf, mereka jarang puasa. Bahkan memelihara babi dan makan babi pun masih dilakukan disela-sela acara adat.




Ustadz Suparlan
*foto oleh Dicky Kurniawan*

Adalah Ustadz Suparlan, sarjana Pendidikan Agama Islam dari salah satu perguruan tinggi di Nganjuk yang berusaha menyadarkan para mualaf dengan mendedikasikan dirinya berdakwah di pedalaman Kalimantan. Ustadz Suparlan rela tidak mendapat bayaran sepeser pun demi dakwah. Berjuang dengan segala keterbatasan di Gunung Rampah. Bagaimana tidak, untuk sampai ke Gunung Rampah dari Melak saja memerlukan dana yang tidak sedikit, paling tidak harus merogoh kocek 20.000 ribu rupiah menggunakan motor sendiri. Penyebrangan dan ongkos BBM yang mahal menjadi penyebabnya. Demi menekan ongkos, Ustadz Suparlan terkadang tidur di Mess Guru yang disediakan SMP 11 Sendawar. Tapi itu pun kondisinya tak begitu memadai.





Gunung Rampah belum ada pasokan listrik sama sekali. Bisa dipastikan kalau malam gelap gulita. Listrik menggunakan genset, dan itupun hanya beberapa orang saja yang mampu, diantaranya petinggi (sebutan untuk Lurah atau Kepala Desa), pemimpin adat dan orang-orang kaya. Belum lagi terbatasnya air bersih, terkadang malah harus menampung air hujan. Kondisi ini diperberat dengan harga BBM yang tinggi, lebih tinggi dari harga yang kita bayarkan di kota-kota besar. Satu liter premium berharga 6000 rupiah di Gunung Rampah, sedangkan di Melak seharga 5.800 rupiah dan di Tenggarong 4.800 rupiah. Harga yang membuat geleng kepala, sebab sebenarnya tak jauh juga dari kota Balikpapan yang gudangnya minyak.



Santri TPA asuhan Ustadz Suparlan
*foto oleh Probo Kushartoyo*

Di tengah keterbatasan itu, Ustadz Suparlan tak kenal kata menyerah. Di kamar mess-nya terpajang kata-kata penyemangat ketika sebagai manusia pada satu titik dihadapkan pada kondisi bimbang. Baginya ketika asa menyerah tiba, maka mengajar anak-anak mengaji adalah obatnya. Tak ada yang bisa menyemangatinya selain tawa anak-anak sebaya Jojon ketika hadir di Majelis TPA yang di lakukan di sebuah langgar sederhana.

Dan Ustadz Suparlan melakukannya dengan ikhlas, tanpa ada tendensi apa-apa selain dakwah, menyebarkan gaung takbir di penjuru Gunung Rampah. Meski untuk itu banyak sekali tantangan dari warga sekitar, baik yang mualaf maupun yang masih menganut kepercayaan animisme.

Dari usahanya, maka Jojon bisa dengan tegas mengatakan "Mau jadi Haji!!!", dan Ustad Suparlan bagi saya adalah Mujahid SEJATI...