Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Saturday, October 31, 2009

Ghost

All the time we spent, wasted in the end
(...)
Lies the weight of my regret
(...)
Between the shadow and the light
(...)
Ghost you're in my head
(...)


Ghost - Extreme

Sunday, October 25, 2009

Yngwie van Bekasi

Iseng-iseng klik sebuah link di Youtube yang di posting seorang kawan di Facebook membawa saya berkunjung ke masa lalu...Link itu kemudian membawa saya menjelajah Youtube, dan akhirnya keasyikan menonton beberapa video Yngwie Malmsteen, jawara shredder masa itu. Jaman itu, jaman peralihan dari putih-biru ke putih abu-abu, sebagai ABG saya begitu menikmati speed permainan gitar Mas Malmsteen. Tapi kesenangan tinggal kesenangan..sebatas mendengar dan menikmati tanpa pernah mampu berfikir untuk mengikuti jejak Mas Malmsteen jadi gitaris.

Dari sekian banyak teman sebaya, ada satu orang yang sangat tergila-gila dengan permainan Yngwie Malmsteen. Teman saya ini tak pernah lepas sekalipun dari gitarnya dan bisa berlatih di rumah hingga 8 sampai 12 jam sehari. Baginya tidak ada detik terlewati selain stretching jari jemari di atas fret gitar. Sampai-sampai sekolah formal pun menjad nomor ke seribu. Nomor satu adalah gitar, kedua kaset-kaset Yngwie Malmsteen. Tak naik kelas sampai pindah sekolah pun di lakoninya. Dari dia lah saya dan teman-teman yang lain mengenal kemudian band-band rock dan musisi dengan kadar selera musik kelas wahid. Selain Yngwie Malmsteen, saya dikenalkan dengan Satriani, Vai, Dream Theater, Rhapsody, Stratovarius, Joe Lynn Turner dan masih banyak lagi. Kebetulan, selera musik di kawasan tempat saya tinggal masa itu tak jauh dari pengaruh musik rock. Mulai dari Metallica, GNR, Nirvana, Sepultura sampai Rage Against The Machine dan Green Day.

Teman saya ini memang terobsesi (atau bermimpi tepatnya) untuk menjadi musisi handal, sebagai gitaris kelas wahid. Untuk mewujudkan mimpinya, dia tak segan-segan melakukan segalanya, mulai dari kursus gitar, mendatangi jagoan gitar di kota tempat kami tinggal, ngulik, sampai kalau nongkrong-pun dia masih juga menunjukkan kemampuannya memainkan gitarnya. Terkadang, kami-kami ini yang nongkrong sampai merasa terganggu kalau dia datang...Pasalnya, ketika satu geng ingin bernyanyi Slank, dia malah dengan sangat cuek mempertontonkan satu repertoar Rising Force yang terdengar pletak-pletuk..maklum, pakai gitar kopong...Kalau dia bermain pada gitar Prince Merah, gitar listrik pertamanya, bisa lain cerita...

Tapi usahanya membuahkan hasil...namanya mulai dikenal di jajaran Gitaris Muda di kota saya...paling tidak beberapa orang mulai mengenalnya. Selepas putih-abuabu, kawan saya ini kemudian melanjutkan studinya ke salah satu perguruan tinggi khusus musik yang pada waktu itu baru saja buka di kawasan Pulogadung. Di tempat itu, dia mulai mengikis idealisme-nya dalam bermusik. Kalau dulu lebih senang rock, speed gitar, sekarang mau menerima beberapa genre musik. Di angkatannya, dia salah satu murid yang kecepatan teknik sweeping-nya paling rapi. Dasar memang tak bakat dengan urusan nilai, memutuskan keluar dari institusi itu dan mulai mengajar privat..sambil terus mengasah skillnya di rumah. Dia juga mulai berkenalan dengan orang-orang yang sehobi dengannya. Dia pun saat itu mulai bermain berbagai macam genre musik, mulai dari progresif sampai pop cengeng.

Sekarang ini, meski belum berhasil menggapai mimpinya untuk jadi musisi, tetapi bakatnya tidaklah hilang. Terakhir bertemu, dia bekerja di perusahaan kargo sambil terus bermusik. Mungkin suatu saat nanti, dia bisa meraih apa yang dicita-citakan. Toh, semuanya berawal dari mimpi...

Wednesday, October 07, 2009

Yang tertulis...(Coretan Pulkam Selatan#2 2009)

Sudah lama tak menulis..banyak ide, tapi malas menulis....maka dari itu, sekarang saya coba untuk menulis. Entah mau dimulai dari mana cerita ini, tergantung isi kepala memerintahkan jemari ini mengetik keyboard komputer. Tapi saya tetap mencoba untuk menulis...

Cerita ini adalah bagian dari ramainya suasana hati dan pikiran saat tugas liputan Reportase Pulang Kampung 2009. Mendapat tugas shift dua alias dimulai saat Idul Fitri tanggal 20 September 2009 sampai 29 September 2009. Sebenarnya dimulai saat malam takbiran, tetapi pemerintah melalui Pak Maftuh Basyuni "berbaik hati" menentukan Idul Fitri maju sehari, sehingga prediksi Ramadhan tigapuluh hari menjadi duapuluhsembilan hari. Maka dari itu, shift dua bisa berlebaran dulu di rumah, sungkem Bapak-Ibu dan keluarga, juga tetangga sebelum berangkat tugas. Tapi itu tidak berlaku bagi kawan-kawan yang kos, yang tetap tidak bisa pulang kampung beneran.

Tim shift dua jalur Selatan Reportase Pulang Kampung terdiri dari 8 orang kru News Trans TV, empat driver handal, dua orang editor, satu MEP dan dua sekuriti. 8 orang kru News ini dipecah menjadi empat tim, dengan komposisi satu cameraperson dan satu reporter. Saya kemudian ber-partner dengan salah satu reporter handal nan cantik. Sebut saja DW. Selama sepuluh hari tugas, ya sehari-hari sama dia itu. Liputan, live, termasuk bergosip...Sebagai satu kesatuan tim, kami harus saling mendukung, apapun kondisinya.

Berangkat dari Tendean jam 2 siang, bersamaan dengan keberangkatan tim shift dua Utara. Tujuan pertama adalah Bandung. Kami beruntung, sebab waktu tempuh Jakarta-Bandung masih normal 2 jam. Bayangkan tim shift dua jalur Utara yang posting sepanjang Pantura. Mereka baru tiba di Cirebon, titik pertama mereka, jam 11 malam. Sampai Bandung, masih sempat kumpul-kumpul dengan tim shift 1. Kebetulan hari itu ada yang berulangtahun. Dan obrolan diadakan di berbagai tempat, mulai dari Paris Van Java, sampai akhirnya terdampar di kios Es Buah di Simpang Dago jam 11 malam. Menikmati es di tengah dinginnya Bandung? Cuma tim Selatan yang bisa...

Obrolan dengan tim shift satu ini membahas soal kerja-kerja mereka selama tugas. Mulai dari menahan puasa di tengah debu Nagreg sampai soal siaran Live yang mereka bawakan. Belum lagi keluh kesah soal pimpinan lapangan, logistik perut sampai manager yang pegang rupiah. Tetapi yang menjadi inti adalah bahwa tim, apapun yang terjadi harus kompak dan saling mendukung. Terutama tim News yang tugasnya di jalanan.

Live pertama saya dengan DW terjadi hari kedua lebaran di depan sebuah FO di Jalan Riau untuk siaran pada slot Jelang Siang. Siaran dan presenting yang ok. DW tidak terlihat grogi ataupun gugup. Live lancar. Meski demikian, saya terbatas oleh penempatan banner sponsor yang harus tetap berada di layar, sehingga eksplorasi dan eksperimen tidak bisa dilakukan. Dan itu menjadi pemikiran tersendiri siapa saja setiap mau siaran. Semua jadi repot memikirkan banner yang harus berdiri tegak di belakang reporter, mulai dari campers, sekuriti, field producer sampai kru teknis siaran. Beruntung tim tetap saling mendukung, jadi tiap siaran persoalan ini sedikit teratasi...

Beberapa kali siaran Live tidak melulu mulus. Ada tim lain yang siap siaran tiba-tiba batal gara-gara sikring pada OB Van putus. Belum lagi soal gugup dan groginya presenter...wahh..kalau ini DW punya trik khusus. Dia bisa berjoget dan bernyanyi demi mengatasi kegugupannya. Ritualnya adalah 3P; Pecicilan, Pencilakan, dan Pethakilan. Baginya, juga bagi saya, itu melemaskan urat syaraf di tengah tuntutan zero mistake. Namun, namanya juga apes, hal tak berkenan bisa hadir kapan saja. Dua kali tercatat closing DW tak sempurna, dan saya sempat juga menantang matahari, sebuah hal yang diharamkan para cameraperson karena bisa membuat gambar siluet. Untungnya tim teknis cukup handal, blocking demikian bisa terlihat normal, meski bikin repot banyak orang. Harus memayungi reporter, bouncing reflektor dan lain-lain.

Dukungan teknis sangat berperan dalam siaran seperti ini. Untuk itu dua kru teknis, Ana dan Suhut adalah orang yang membuat gambar di monitor jadi enak di pandang mata dan mengantarkannya ke layar televisi melalui Jakarta. Belum lagi perintah seorang program director di Jakarta yang dihantarkan supaya bisa sama dengan Jakarta. Countdown dan perintah melalui alat komunikasi menjadi bagian dari hidup kameramen selama paling tidak 30 menit. Dan saya paling senang kalau Ana yang pegang tugas itu. Bukan apa-apa, adem suaranya..hehehe...

Untuk bisa sampai di Jakarta, gambar tersebut dikirim melalui OB Van yang digawangi Andra sama Iman, dan didukung si Bule dari Garut. Berhubung di pakai bergantian dengan sang adik, maka OB Van nyaris tak pernah istirahat. Total di pakai 9 kali siaran Live. Trans TV tiga kali, sisanya jatah adik. Dan itu berjalan selama 18 hari, shift satu dan shift dua.

Sebelum siaran atau sesaat setelah siaran biasanya tugas berikutnya adalah liputan. Apa saja bisa jadi bahan liputan, terutama macetnya jalur arus balik dan kecelakaan lalin. Dan Nagreg menjadi idola untuk membuat paket berita VO, karena nyaris setiap jam terjadi macet di simpang Cagak, dan efeknya kendaraan bisa mengantri hitungan kilometer. Kalau kecelakaan, di Cikampek lah jagoannya. Mulai dari jalur tol Jakarta-Cikampek, Cipularang sampai non-tol bisa dibilang selalu ada kecelakaan. Setelah liputan, gambar-gambar akan diedit oleh editor. Dan itu tugas Setiawan dan Tika, dua dari sekian banyak editor handal. Berbekal laptop editor, jari-jari mereka berdua asyik menari. Putar sana, potong sini, tempel...dan jadilah paket berita spot maupun VO. Terkadang materi datang berdekatan dengan waktu siaran. Nah, di tangan mereka lah nasib paket berita itu berada, apakah selesai tepat waktu atau malah molor.

Di atas itu semua, ada dua field producers. Muhar mengurus printilan siaran, satu lagi, TB, mengurus layar dan naskah. Keduanya terlihat kompak, tetapi TB seringkali uring-uringan kalau ada masalah dan kesalahan. Bukan apa-apa, tanggung jawab sangat besar ada di pundak mereka berdua, jadi sangat wajar kalau mereka ini kadang menyebalkan!

Ah...banyak momen yang bisa ditulis sebenarnya, tetapi kalau di sini bisa panjang dan makan bandwith. Paling tidak cerita di atas mengobati kangen saya menulis, dan merindukan suasana liputan seperti itu yang di beberapa saat membuat saya merasa benar-benar menjadi jurnalis, bukan sekedar (mengutip teman), broadcaster. Dan saya merindukan liputan bersama DW...Cakep Daahhhh!!!