Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Thursday, November 19, 2009

Progo...

Tulisan ini tidak serius, dan memang tak akan pernah serius...kecuali kalau pembaca ingin memaknainya dengan serius...Silakan saja..

Stasiun itu terlihat ramai...
Senin, 9 November 2009 pukul 21.00 WIB
Aku tiba di stasiun itu diantar seorang kawan setelah sebelumnya hanya sempat singgah hanya untuk membungkus beberapa baju. Malam itu aku secara mendadak harus melakukan perjalanan ke Jogjakarta, kabar duka dari salahsatu anggota keluarga besar membuatku harus berada di sana, paling tidak untuk menyampaikan belasungkawa secara langsung kepada keluarga yang ditinggalkan. Tapi bukan soal kabar duka yang ingin ku ceritakan disini.

Stasiun Bekasi, 9 November 2009 pukul 21.15 WIB
Stasiun ini masih terlihat ramai, oleh penumpang juga pedagang. Kebanyakan dari penumpang di peron tiga ini akan melakukan perjalanan menyusuri jalur baja ke arah Jogjakarta dan Semarang. Maklum, dua kereta ekonomi tujuan kota inilah yang berangkat paling akhir dari Jakarta. Kereta ekonomi terakhir menyusuri jalur selatan Jawa adalah jurusan Jogjakarta, namanya Progo, dan jalur utara adalah jurusan Semarang dengan nama Tawang Jaya. Kedua kereta ini, meski ekonomi, tapi tiap ada pengumuman dari petugas stasiun selalu saja disebut Kereta Api Ekspress Malam.

Di stasiun itu selain para penumpang, juga terlihat manusia-manusia lain. Ada pedagang kacamata dan tas yang sedang melepas lelah setelah seharian menjajakan daganganya. Ada pengamen buta yang sedang asyik menikmati nasi bungkus bersama teman penuntunnya. Ada juga perempuan gemuk setengah baya penjaja minuman hangat. Sementara di peron seberang, Kereta Api Eksekutif Parahyangan baru saja tiba menurunkan para penumpang, disusul berangkatnya KRL Ekspress terakhir menuju Stasiun Kota. Ups..serombongan waria melintas dengan wangi parfum yang aduhai. Terlihat dari kostum yang dikenakan, sepertinya mereka baru saja tampil dalam sebuah acara, entah dimana dan apa acaranya.

Progo Gerbong 7, 22.00 WIB
Kereta ini perlahan meninggalkan Stasiun Bekasi. Pelan tapi pasti, menembus pekat-pekat malam. Dan aku harus berdiri berdesakan dengan penumpang lain yang tidak memiliki nomor tempat duduk. Tumben, pikirku, kereta ini ramai pada awal minggu...Bertahun lalu aku sampai hapal kapan saja kereta ini ramai atau tidak, karena saking seringnya bepergian ke Jogja menggunakan kereta merah. Ya merah..ku sebut demikian karena dulu gerbongnya berwarna merah, ciri khas gerbong kereta ekonomi.

Duduk dekat bordes alias sambungan memang membuat tubuh tak nyaman. Pedagang asongan tak henti-hentinya lewat menjejak lantai gerbong yang kotor, tabrak sana-sini tak pedulikan gerutuan penumpang. Tapi memang sepertinya tak ada yang menggerutu, karena memang pasrah saja para penumpang kereta kelas ekonomi. Di tengah gerbong sudah ada beberapa penumpang menggelar koran sebagai alas tidur. Mereka malah lebih tak perduli lagi terhadap keadaan sekitar, yang penting bisa rebah dan terlelap. Meski kadang resikonya dilangkahi orang dan tak jarang ada anggota tubuh yang terinjak. Tapi pengalamanku memperlihatkan, jenis penumpang ini tak peduli. Bagi mereka yang penting murah meriah bisa selamat sampai tujuan.

Menjelang Cikampek, 1 jam setelahnya
Keberadaan pedagang di gerbong ekonomi kadang mengesalkan, kadang juga dibutuhkan. Melihat penumpang yang keleleran, para pedangan ini memberi info kalau di gerbong paling belakang masih banyak kursi kosong. Dengan mantap, aku dan beberapa penumpang akhirnya menyusuri gerbong dengan semangat. Tiba di gerbong 10, beberapa kursi memang kosong, bahkan ada yang selonjoran. Setelah memantau situasi, kuputuskan duduk di kursi nomor 4 dekat jendela. Di kursi itu sudah duduk seorang pemuda, di depannya seorang mahasiswa dan lelaki. Seingatku, sepanjang perjalanan (paling tidak sampai Stasiun Cirebon), pemuda di sebelahku berkisah tentang perjalanan hidupnya, pengalamannya, pahit-getirnya. Si Mahasiswa asyik menyimak seolah mendapatkan petuah bijak. Dan aku sedikit menguping saja karena makin lama si pemuda malah terlihat seperti membual...

Stasiun Cirebon, 10 November 2009, 01.00 WIB
Dini hari kereta ini berhenti sejenak di Stasiun Cirebon, menunggu simpangan Taksaka dari Jogja. Sementara menunggu, aku sejenak turun dan menikmati suasana stasiun di malam hari lengkap dengan kesibukan para penghuninya. Ahh..aku selalu menikmati suasana seperti ini...

Ada pedagang dodol garut dan nasi pecel yang ngobrol berlogat khas Jawa pesisir. Ada pedagang yang menawarkan air mineral dari luar kereta karena malas berdesakan di atas gerbong. Ada petugas stasiun yang mondar-mandir dengan senter di tangan memeriksa kondisi kereta. Ada juga penumpang yang merokok sekedar melepas penat. Bahkan ada juga penumpang tolol yang buang air kecil di dekat roda kereta.

Malam, 01.30 WIB
Kereta akhirnya bergerak...dan aku menikmati makan malamku: Mie Instan dan teh hangat. Darurat tentunya...Ku beli dari pedagang asongan. Tinggal satu cup, dan Mas Asongan tampak senang melihat barang daganganya habis. Menu seperti ini sengaja kupilih, karena kepraktisannya. Dan aku juga tidak begitu percaya dengan penjaja nasi bungkus yang menawarkan sebungkus nasi lengkap dengan ayam goreng dan telur dadar seharga limaribu rupiah. Jangan-jangan ayamnya tiren, dan telur dadarnya adalah campuran satu butir telur ayam dan setengah kilo tepung plus pewarna kuning. Semoga hanya kecurigaan saja mendengar tawaran harga yang tergolong murah untuk dijajakan di atas kereta.

Purwokerto, sekitar pukul tiga dini hari
Ah..tertidur rupanya aku ini...sudah sampai Purwokerto. Sebenarnya, jalur Cirebon-Purwokertio termasuk jalur berbahaya. Jalur kereta ini banyak turun-naik bukit dan tikungan panjang. Biasanya kereta akan bergerak lambat jika melewati jalur ini. Dengan kontur berbukit-bukit, jalur ini indah di lewati saat matahari masih bersinar. Hamparan sawah dan gunung di kejauhan, belum lagi aliran air sungai membuat penat tak terasa. Itu kalau perjalanan dilakukan siang hari. Kalau malam ya masih beruntung kalau tidak hujan, kita masih bisa berdiri di pintu gerbong dan melihat taburan bintang...

Kutoarjo, Pagi
Stasiun besar sebelum Jogjakarta. Di stasiun inilah biasanya turun para pelaju yang naik dari stasiun Gombong dan Kebumen. Dari Gombong-Kebumen pula biasanya naik para pengamen yang benar-benar menghibur. Pengamen-pengamen ini tak mengganggu seperti gerombolan pengamen jalur Cirebon-Purwokerto yang sering memaksa penumpang memberikan uangnya.Para pengamen lucu ini bernyanyi secara bergantian. Setelah pengamen waria berdendang lengkap dengan sengau genitnya, masuklah pengamen beralat musik cukup berat, lengkap dengan contrabass-nya. Jika pengamen waria melagukan tembang dangdut jawa, maka terkadang pengamen rombongan ini memainkan satu repertoar keroncong. Dan catat: mereka tidak pernah memaksa penumpang memberikan uangnya, para penumpanglah yang dengan sukarela mengeluarkan rupiah karena mereka benar-benar terhibur setelah semalaman penuh berada di gerbong sesak. Perjalanan menuju Jogjakarta di pagi hari ini pun semakin mengasyikkan...

Lempuyangan, 10 November 2009, 08.00 WIB
Seluruh penumpang tersisa turun di pemberhentian terakhir KA Ekspress Malam Progo. Dengan tergesa terlihat bapak, ibu dan tiga anaknya berlari ke toilet. Si anak lelaki yang kecil ternyata sudah tak tahan ingin buang air besar. Tak sabar pula sang bapak menggedor pintu toilet, sementara para pengantri memaklumi dan malah memberikan jatah antriannya untuk sang anak. Di sudut, terlihat bapak tua membasuh muka...Kamar kecil yang benar-benar kecil ini pun ramai dengan aroma bau besi, aroma khas kereta ekonomi. Di sayup pendengaran, terdengar radio usang penjaga toilet membunyikan tembang jawa...

Dan, untuk yang kesekian kali...aku tiba di Jogja...

Tuesday, November 03, 2009

Pita Merah !!!

Penahanan dua pimpinan KPK non aktif, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah tanpa tuduhan dan sangkaan jelas oleh Polisi menjadi babak baru perseteruan dua lembaga ini. Pro-kontra terhadap pemenjaraan dua orang ini terus bertebaran, baik dunia maya maupun dunia nyata. Sejauh yang saya ketahui, pihak yang pro penangkapan cuma Polisi, koruptor dan sebuah Pesantren di Bogor. Pesantren tersebut sampai menggelar do'a bersama mendukung langkah Polisi. Sedangkan yang kontra begitu banyak berdatangan dari seluruh penjuru negeri, bahkan dunia.

Ada seorang dosen yang juga facebooker menggalang dukungan bagi Bibit-Chandra melalui situs jejaring sosial. Coretan grafiti di berbagai tembok di jalanan ibukota juga merepresentasikan dukungan terhada KPK agar tidak dimandulkan. Belum lagi banyak tokoh menjaminkan dirinya untuk Bibit-Chandra. Sampai-sampai mantan Ketua KPK Ery Riana juga merasa "harus ditangkap dan di tahan" karena dulunya melakukan apa yang di tuduhkan polisi terhadap Bibit-Chandra.

Di lain pihak, pimpinan republik bereaksi sangat lamban. Dari awal para petinggi negara sudah menyadari runutan jalannya pertarungan Cicak vs Buaya ini. Namun, mereka seolah menikmati tontonan ini dari balik ruang kerja mewah mereka, lengkap dengan tawa dan es teler. Ketika reaksi masyarakat berdatangan mendukung KPK dan Bibit-Chandra, barulah ada acara menggelar karpet musyawarah..jualan kecap...

Indonesia melulu berkabung atas tewasnya anti-korupsi. Dan banyak kalangan memaknainya dengan memakai pita hitam tanda duka cita. Duka cita ditinggal mati sistem anti-korupsi gara-gara proses pembiaran para pemangku kebijakan. Mereka berlindung di balik "penghormatan proses hukum" yang tak betul jalannya. Dan duka cita berarti pasrah...

Bagi saya, lebih baik memakai pita merah sebagai simbol perlawanan terhadap tindakan sewenang-wenang dalam kasus ini. Sebagai bentuk perlawanan terhadap korupsi, terhadap pemandulan KPK. Dan memang, mengutip Wiji Thukul, hanya ada satu kata LAWAN!!!

*Duel Cicak v Buaya bikin Kadal bergembira...Bunglon berubah wajah dan warna, sementara pawangnya asyik menonton sambil jualan kecap dan minum es teler*

Kemanakah Susno, sang promotor pertarungan ini???