Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Sunday, July 15, 2012

Lewat Djam Malam (1954): Revolusionist Yang “Tersesat”

 “Setengah!”

Itu kata Puja (Bambang Hermanto) tentang Laila (Dhalia), seorang pelacur yang punya cita-cita hidup ideal, sambil menyilangkan jari telunjuknya ke dahi. Puja menganggap, mimpi Laila yang utopis tentang hidup ideal adalah cita-cita gila. Padahal, Laila hanya ingin punya laki, keluarga dan anak.

Mimpi yang “utopis” itulah yang sebenarnya juga di alami Iskandar (A.N. Alcaff) setelah ia kembali dari perang. Iskandar gagal beradaptasi dengan dunia di luar gunung-hutan tempat dia berada selama ini. Sebagai “bekas” pejuang, Iskandar punya cita-cita ideal tentang hidup setelah perang dan penghargaan bagi dirinya yang bekas kombatan. Tetapi, dunia paska perang tidaklah seindah yang dibayangkan Iskandar.

Bekas komandannya, Gunawan (Rd. Ismail), menyatakan bahwa perang belum berakhir. Gunawan yang menjadi pengusaha sukses berkukuh bahwa perang secara ekonomi juga sama pentingnya dengan perang revolusioner. Gunawan kemudian menawarkan pekerjaan yang cocok untuk Iskandar: Tukang Pukul. Bagi Iskandar, ini melecehkan harga dirinya, karena dalam mimpinya, paska perang dia bisa bergaul normal dengan sesama manusia tanpa harus bersinggungan dengan kekerasan.

Pada titik ini, Iskandar ”tersesat” di dunia yang sudah berubah. Dia mengungkit sikap Gunawan semasa perang. Iskandar sudah diingatkan rekannya yang lain, Gaffar (Awaluddin) untuk melupakan masa lalu. Toh, bagi Iskandar, Gunawan harus bertanggungjawab atas apa yang ia perintahkan kepada Iskandar dan Puja di masa perang.

Sebagai orang yang datang dari kelas menengah sebelum akhirnya memutuskan ikut terjun bertempur, Iskandar adalah orang yang berpendidikan tinggi. Ia sempat kuliah di ITB. Oleh calon ayah mertuanya, Iskandar dititipkan di kantor gubernur untuk bekerja. Sayang, baru sehari bekerja dia di pecat. Sementara Norma (Netty Herawati) tunangan Iskandar sedang mempersiapkan pesta kepulangan Iskandar, hanya tahu Iskandar bekerja di kantor gubernur.

Yang menarik adalah bagaimana kelas menengah Indonesia di rekam oleh sutradara Usmar Ismail. Pesta-pesta dan dansa-dansi mewarnai kehidupan Norma, dan Adlin kakaknya. Seperti tidak peduli, pesta tetap diadakan meski Iskandar tak berada di rumah..atau lebih tepatnya tidak peduli. Meski demikian, Norma sudah cinta mati kepada Iskandar. Iskandar yang tersesat memutuskan kembali kepada satu-satunya orang yang setia dan tidak setengah-setengah mencintainya, yakni Norma.

Lewat Djam Malam berlatar Bandung di tahun sekitar 1949-1950, dimana berlaku jam malam antara jam 10 malam sampai jam 5 pagi. Patroli militer akan menangkap semua orang yang berada di jalan pada jam-jam tersebut. Tak segan pula patroli menembak pelanggar jam malam.
Usmar Ismail dan Asrul Sani bisa membuat sebuah rekaman jejak hidup Indonesia yang sangat muda. Oleh dua legenda film Indonesia ini digambarkan sejak awal, rekam jejak hidup Indonesia penuh ketidaksempurnaan dan penuh problema sosial-politik dan intrik. Iskandar pun jadi sosok yang mewakili kegelisahan Usmar dan Asrul tentang masa depan Indonesia, yang mungkin sedang menikmati buah kemerdekaan.

Sayangnya, potret kekhawatiran tentang Indonesia di masa depan ini justru kurang mendapat perhatian di rumahnya sendiri. Film Lewat Djam Malam buatan 1954 itu kondisinya rusak berat, dan kemudian direstorasi oleh National Museum of  Singapore dan World Cinema Foundation pimpinan Martin Scorcese, bekerja sama dengan Yayasan Konfiden dan Kineforum. Tanpa usaha mereka, kita mungkin tidak bisa menikmati sebuah mahakarya masa lalu tentang Indonesia.

Inilah film tentang totalitas anak bangsa yang ”Kepada mereka yang tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri.”

*credit foto: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-l014-54-609457_lewat-djam-malam#.UAKHvJF1h6N*