Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Wednesday, May 22, 2013

What They Don't Talk When They Talk About Love (2013): Jatuh Cinta dengan Sederhana



Remaja dengan segala pernak-perniknya memang menarik untuk diangkat dalam sebuah film. Apalagi sesi jatuh cinta, proses yang dialami nyaris semua remaja. Tapi What They Don’t Talk When They Talk About Love bukanlah film cinta remaja picisan yang lengkap dengan galau menye-menye dan banjir airmata, serta dialog kaku yang terlalu dipaksa untuk dibuat. Ini film dengan kadar jatuh cinta yang paling sempurna. Saking sempurnanya, inilah film Indonesia pertama yang menjadi official selection di Sundance Film Festival.

Lupakan istilah “dari mata turun ke hati” pada fase jatuh cinta. Kisah di film ini bukan bertumpu pada remaja normal. Ini cerita jatuh cinta diantara anak-anak remaja yang difable. Karakter bertumpu pada lima remaja yang 4 diantaranya menderita tuna netra. Satu lagi, Edo (Nicholas Saputra), menderita tuna rungu sejak kecil yang membuatnya tak bisa bicara. Keempat anak manusia ini bertemu dan berkelindan dalam sebuah Sekolah Luar Biasa di Jakarta.

Diana (Karina Salim) adalah penderita low vision yang membuatnya sulit melihat dan harus dibantu dengan kacamata khusus. Jarak pandang Diana terbatas, hanya sekitar 5cm saja maksimal. Diana jatuh cinta dengan Andhika (Anggun Priambodo) siswa netra yang baru di Sekolah. Hanya saja, Andhika terkesan pendiam, dan acuh dengan “kehadiran” Diana. Diana sendiri ingin merasakan apa itu jatuh cinta dengan normal, melalui sandiwara radio yang selalu direkamnya. Di sisi lain, Diana adalah obsesi tersendiri bagi orang tuanya akan kecantikan dan kenormalan.

Sementara Fitri (Ayushita Nugraha) menjadi obyek seksual pacarnya yang normal dan kaya. Entah bagaimana mereka bertemu, yang pasti Fitri sering dikunjungi Lukman (Khiva Iskak), dan sering diajak pergi pula. Dalam satu kesempatan, Edo mengintip Fitri yang “digarap” Lukman di kamar asrama. Karakter Fitri unik, karena dia punya teman curhat, Pak Dokter. Edo memanfaatkan situasi ini dengan “menampakkan diri” sebagai Pak Dokter dan menjadikannya pemuas gejolak seksual Edo.

Adalagi Maya (Lupita Jennifer) yang senang memakan Rainbow Cake, dan punya cita-cita menjadi pesohor. Kelimanya seringkali saling “memandang” di warung makan milik Bu Rusli (Jajang C. Noer).

JATUH CINTA DENGAN SEDERHANA
Kisah jatuh cinta remaja difabel ini sangat menarik dan puitik. Tak ada embel-embel pandangan pertama yang melakonlis. Karena tuna netra, mereka bersandar pada rasa dan perasaan, melalui sentuhan, dan bicara dari hati ke hati. Kejujuran dan kepolosan remaja difable ini terekam, misalnya, saat Diana “nembak” Andhika. Tapi bukan itu saja yang ditunjukkan dalam film. Cinta juga butuh perjuangan.

Lihat bagaimana Edo yang bisu berkomunikasi dengan Fitri. Melalui surat berhuruf braille, keduanya berkomunikasi intens. Edo bahkan sampai belajar membaca huruf braille. Seringkali, demi merebut hati Fitri, Edo menyelipkan kalimat-kalimat puitis yang di conteknya dari film. Meski awalnya adalah memanfaatkan Fitri sebagai pemuas seksual, Edo dan Fitri benar-benar jatuh cinta. Dan Edo yang tak tahu bagaimana mendapatkan hati Fitri mau bersusah payah menjadi Pak Dokter dan belajar huruf Braille hanya untuk bisa bersama Fitri.

Inilah realitas yang diangkat Mouly Surya. Mouly memotret bagaimana para difable jatuh cinta dan memaknai cinta itu sendiri. Mouly tidak sedang bersenang-senang mengeksploitasi difable. Justru ia ingin “mengeluarkan” unek-unek para difable yang seringkali menjadi sub-ordinat manusia normal. Para difable ini seringkali sengaja “dibuang” orangtuanya. Edo ditemukan Bu Rusli di tong sampah. Fitri dan Diana dititipkan pada asrama sekolah luar biasa. Fitri bahkan sedari kecil tinggal di asrama, diserahkan orangtuanya langsung.
What they Don’t Talk cukup banyak menangkap keresahan dan keinginan sederhana para difable.

Mereka ingin dihargai, punya keinginan dan cita-cita selayaknya manusia normal. Diana punya kemampuan menari balet, sementara Maya suka menyanyi. Bayangan akan keinginan para difable menjadi normal terekam saat dialog Edo dan Fitri di kamar. Beberapa scene seks Edo dan Fitri, tidak berarti menjadikannya film ini picisan dan murahan. Justru itu kesan utama, bahwa para difable punya keinginan yang sama dengan manusia normal lainnya. Persoalan caranya yang baik atau salah, terserah penonton menilainya.

Mouly juga mengesankan ingin menangkap para difable dengan utuh, tanpa potongan-potongan yang bisa menjadikannya bias. Melalui camera works yang penuh long track shot, penonton diajak memahami sebab-akibat tanpa harus terpotong shot-shot yang tak perlu. Simak bagaimana Edo berjalan menyusuri selasar sekolah untuk mengintip Fitri. Atau Andhika saat masih baru masuk sekolah dan tak bisa menemukan ruang kelasnya.

Bukan kebetulan bahwa dalam film ini, perempuan menggunakan rasa dan perasaan hati untuk momen jatuh cinta, sementara laki-laki masih terkonsep “dari mata turun ke hati” dan menjadi makhluk romantis yang gemar bermain kata-kata indah. Karena mungkin “takdir” jenis kelamin memang demikian.  Maka sesuai judulnya, tak usah bicara cinta kala sedang jatuh cinta… jatuh cinta lah dengan sederhana…

*kredit foto: www.twitchfilm.com*