Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Wednesday, June 18, 2014

CAHAYA DARI TIMUR: BETA MALUKU (2014): MERAWAT PERDAMAIAN DAN KEBERAGAMAN.




Sani Tawainella. Tak banyak yang tahu nama itu. Mungkin, sebelum film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku ini dirilis, hanya orang-orang Tulehu dan Passo, Maluku yang tahu nama itu. Sani, mantan pemain muda berbakat sempat ikut Timnas PSSI U-15 di Piala Pelajar Asia 1996 di Brunei Darussalam. Hanya saja, Sani yang cidera kemudian harus melupakan mimpinya bergabung dengan PSSI Baretti, sebuah tim berisi anak-anak muda Indonesia berbakat yang diberangkatkan ke Italia untuk menimba ilmu sepakbola.

Sani beralih menjadi tukang ojek. Waktu itu, Ambon sedang panas-panasnya. Kerusuhan berbau agama merebak diseantero Ambon. Dalam sebuah momen, ia melihat anak kecil tertembak di tengah-tengah kerusuhan. Tulehu, desa kelahiran Sani, juga tak luput dari kerusuhan ini. Setiap ada bunyi tiang listrik dipukul, saat itu juga terjadi rusuh massa. Sani yang tak ingin anak-anak di desanya menjadi korban kerusuhan, lantas mengajak anak-anak itu bermain sepakbola.

Sani Tawainella (Chico Jericho) bersama Rafi Lestaluhu melatih anak-anak Tulehu bermain sepakbola, sampai akhirnya mereka pecah kongsi. Rafi tetap bersama Tulehu Putra, dan Sani melatih SMK Passo. Kedua tim berhadapan pada babak final sebuah kompetisi sepakbola lokal yang dimenangkan Tulehu Putra. Arus lurus menceritakan ada kompetisi sepakbola nasional di Jakarta yang membuat Maluku harus membuat “timnas”. Timnas ini beranggotakan anak-anak Tulehu dan Passo.

Disinilah kisah bermulai. Seperti film-film bertema olahraga (sport) yang lain, perjalanan film ini berkutat antara keutuhan tim, semangat juang dan motivasi. Dalam Beta Maluku, unsur meredam konflik berbau SARA menjadi kampanye tersendiri. Terlihat bagaimana dendam antar penduduk desa masih ada, bahkan setelah keduanya disatukan dalam sepakbola. 

Bukan hal mudah meredam konflik dan kemudian merawat perdamaiannya. Ada saja benih-benih dendam seperti sikap Salembe (Bebeto Leutally) yang kemudian membenci rekan satu tim yang berasal dari Passo. Sani terlihat susah payah menjaga hal-hal buruk dan nyaris menyerah. Sani sendiri punya masalah lain dengan keluarganya.

Seperti halnya kisah-kisah heroik pelatih olahraga, ada momen-momen penting yang membuat kita berfikir tentang masa depan anak-anak ini nantinya. Ada kegusaran yang mengganggu para pelatih itu. Seperti Ken Carter dalam Coach Carter (2005) yang risau akan masa depan anggota tim basketnya yang hidup dilingkungan keras dan penuh kekerasan. Atau Kim Won-Kang di A Barefoot Dream (2010) yang mati-matian berusaha membawa Timnas U-16 Timor Leste bertanding di Jepang.

Pada Sani, kekhawatiran terhadap nasib anak-anak Maluku yang penuh dendam akibat kerusuhan berusaha diredam dengan sepakbola. Bahkan demi mewujudkan impian besarnya, Sani rela mengabaikan keluarganya. Namun, baik Sani maupun Kim, misalnya, ingin sesuatu yang mereka mulai, akan ada hasilnya diujung nanti.

Bagai pisau bermata dua, sepakbola sendiri, meski bisa mendamaikan, namun sering juga menjadi lahan subur konflik fanatisme berlebihan yang justru bisa membunuh sportivitas itu sendiri. Bagi sebagian orang, sepakbola adalah agama, dan fanatisme terhadap klub tertentu menjadi mazhab yang harus dibela sampai mati. Pada masa kerusuhan Ambon, Tulehu dan Passo mewakili dua entitas berbeda yang bertempur di lapangan hijau: Tulehu, Islam dan Passo, Kristen. Mau tidak mau, ada persoalan dendam yang tidak mudah terselesaikan begitu saja. Sampai-sampai Salembe menaruh dendam kesumat. 

Cahaya Dari Timur: Beta Maluku sesungguhnya film apik yang musti ditonton bersama-sama. Film ini tidak saja menghadirkan kisah inspiratif nyata dari tanah Maluku, tetapi juga berbagai usaha merawat perdamaian pasca konflik digambarkan disini. Karakter-karakter seperti Sani, Rafi, Yosef, Jago, Salembe, Kasim, Fanky, Akbar dan lain-lain adalah nyata adanya. Bahkan, Alfin Tualasamony (Burhanudin Ohorella)  adalah contoh paling hidup pesepakbola sukses hasil didikan Sani. Tak ada penggambaran berlebihan lansekap khas Indonesia Timur yang indah, karena ini bukan film pemandangan.

Film yang berangkat dari kisah nyata memang punya kesulitan menemukan plotnya sendiri. Banyak karakter penting yang diusahakan masuk dalam pengadeganan. Namun, beberapa terkesan seperti “ujug-ujug ada”. Seperti Sofiyan (Glenn Fredly) atau Bapak Raja. Kedua tokoh ini memang penting dalam garis tangan Sani, hanya saja kehadirannya cuma sekedar tempelan. Atau saat penggambaran konflik yang tampaknya mau dihadirkan cepat tapi malah membuat arus cerita jadi sedikit lambat dan cenderung "memaksa" penonton menikmatinya. Juga berkali-kali istri Sani, Haspa (Shafira Umm), mengeluh soal kondisi keuangan dan kegiatan Sani, sepertinya karena terlalu sering ditampilkan, akhirnya jadi lebay. Hanya Salembe yang sukses menjadi pencuri adegan pada setiap kemunculannya.

Kesulitan-kesulitan tadi ditutup dengan sempurna berkat naskah yang diusahakan menggunakan dialek Ambon. Buat penonton awam yang belum pernah ke Ambon, akan ditunjukkan bagaimana obrolan di Ambon itu mengalir, mirip seperti orang bernyanyi. Kegigihan para aktor dan pemain untuk menggunakan dialek Ambon cukup untuk menggambarkan bahwa ini kisah tentang Maluku. Walhasil, keluar bioskop rasanya mendadak jadi bagian dari Ambon dan Maluku.

Seperti film-film bertema olahraga yang lain,  puncak emosi adalah saat tim tersebut merasa dibawah tekanan dan putus asa, dan pelatih akan memompa motivasi pemainnya. Chico berhasil menghadirkan emosi tersebut ke penonton lewat orasinya tentang Maluku di kamar ganti. "Ini bukan Islam, ini bukan Kristen, ini Beta.. Maluku!" Sesungguhnya, pengadeganan seperti inilah kunci utama film-film bertema olahraga.

Menonton film-film bertema olahraga itu selalu mengasyikkan. Tidak hanya soal harubiru kemenangan di lapangan, tetapi juga menonton bagaimana usaha mencapai kemenangan di luar lapangan adalah juga hal terpenting. Bagi Sani, usahanya meredam konflik lewat sepakbola adalah pencapaian luar biasa. Tantangan beratnya, baik bagi Sani maupun bagi kita semua, adalah merawat perdamaian itu sendiri. Film ini, bagaimanapun, adalah salah satu usaha merawat perdamaian dan meredam konflik. Salut!

*kredit foto: http://cahayadaritimur.com/#galeri

3 comments:

Anonymous said...

Yay!! Terima kasih sudah menonton, kalau puas beri tahu teman, kalau kurang puas, nonton lagi sampai puasss... heheheh..
Waktu pertama nulis draft 1 skenario Cahaya Dari Timur ini, gue sempat kesulitan karena hanya mendengar dan membaca tentang konflik Ambond dan Tulehu. Setelah berangkat ke Ambon, lalu Tulehu dan berjumpa Kaka Sani, ngobrol dengannya, ke rumahnya, ke lapangan Matawaru barulah semua kebuntuan terbuka, tiba-tiba mengalir deras draft 1-nya :D

http://sabai95.wordpress.com/

Dicky - answerlieswithin- said...

Terima kasih, Mbak Tika atas responnya.. Yang jelas ini film bagus, saya menikmatinya. Ada aura optimisme dalam film ini.. Tinggikan!

Ophan said...

Beta suka sama film ini . I LOVEU MALUKU ... NYONG ALIFURU ...