Diganjar penghargaan Crystal Bear-Special
Mention untuk kategori Generation KPlus pada Berlinnale International Film Festival
2014, membuat saya bergumam “pantas dikasih penghargaan, filmnya bagus gini”
saat menontonnya. Film yang manis, begitu saya menyebutnya. Manis bukan saja
pada presentasi visual, tapi juga tutur cerita minim dialog yang kaya makna.
SEPATU BARU (2013) berkisah
tentang seorang gadis kecil yang berjuang menghentikan hujan agar bisa
mengenakan sepatu barunya. Berlatar lansekap perkampungan padat di Makassar,
Sulawesi Selatan, Aditya Ahmad, tidak mengeksploitasi kekumuhan wilayah, tapi
justru bermain-main dengan rapat dan sempitnya lokasi membentuk bingkai-bingkai
indah. Meski demikian, problem khas masyarakat urban di kampung padat penduduk
tetap disajikan.
Seorang gadis cilik (Isfira
Febiana) berkeliling kampung padat penduduk untuk melemparkan celana dalam
bekas pakai dengan tujuan menghentikan hujan. Ia punya keinginan sederhana, agar
bisa mengenakan sepatu barunya tanpa harus terkena cipratan hujan atau pun
genangan air akibat hujan. Filmnya bergerak cepat ke arah lain: problem khas
urban. Soal genangan air, rumah bocor, pompa air dan toilet umum, sampai janji
anti banjir politisi.
Durasi 13 menit dimanfaatkan dengan
baik oleh SEPATU BARU. Keinginan sederhana Si Gadis Cilik diramu dengan
kritik-kritik sosial yang membuat penonton tersenyum sepanjang film. Hujan
sebenar-benarnya hujan yang bagi
sebagian pembuat film bisa jadi “musuh bersama”, justru menjadi “sahabat” bagi
film ini. Semuanya disajikan alami dan manis, termasuk adegan pembuka film ini.
Seperti halnya di Jakarta, masyarakat
urban Makassar pun punya masalah yang sama: keterbatasan lahan yang memaksa
mereka tinggal berdempetan yang tentunya ber-efek domino ke sejumlah perkara
sosial yang lain yang mungkin timbul. Diantara sejumlah persoalan, terselip
penyelesaian yang murah meriah yang melibatkan intuisi mitos dan kisah rakyat
yang beredar di masyarakatnya. Dalam kasus Sepatu Baru adalah bagaimana
menghentikan hujan.
Pada beberapa tradisi,
menghentikan hujan atau menunda hujan menjadi sangat penting saat akan
berlangsungnya sebuah perayaan (besar) dimana hujan tidak diharapkan turun. Di
banyak daerah di Indonesia, praktek menunda atau menghentikan hujan bisa
dilakukan dengan cara sederhana, menggunakan bumbu dapur dan tusuk seperti sate
lalu tanam di tiap sudut halaman rumah. Ada lagi yang membalikkan sapu lidi.
Yang paling “fenomenal” adalah syarat menunda hujan bagi orang-orang yang akan
melaksanakan pesta pernikahan: melempar celana dalam (calon) mempelai wanita ke
atap rumah.
Entah darimana Si Gadis Cilik ini
mendapatkan ide melempar celana dalam tak usah dipersoalkan. Ini adalah cerita
tentang tradisi dan mitos di Indonesia dalam bentuk lain. Mitos yang tentunya
ditularkan dari mulut ke mulut lengkap dengan bumbunya dan sejumlah kisah
keberhasilannya. Perkara Si Gadis Cilik ini berhasil atau tidak, SEPATU BARU
menunjukkan kritik yang lain atas mitos menghentikan hujan.
No comments:
Post a Comment