Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Sunday, March 09, 2014

12 Years a Slave (2013): Jalan Panjang anti Perbudakan



“Saya dedikasikan penghargaan ini untuk orang-orang yang selamat dari perbudakan dan 21 juta orang yang masih menderita karena perbudakan saat ini..”
-          Steve Mc Queen (Sutradara 12 Years a Slave) saat pidato penerimaan Oscar untuk kategori Best Picture.

Solomon Northup, adalah freeman kulit hitam di New York. Hak sebagai orang bebas ini adalah jaminan perlakuan setara atas hak-hak yang juga dimiliki warga kulit putih lainnya dihadapan hukum Amerika Serikat pada abad 18 dan 19. Hak sebagai orang bebas bagi warga kulit hitam ini sangat sulit didapat, terlebih jika yang bersangkutan pernah menjadi budak. Hak istimewa ini didapat warga kulit berwarna melalui serangkaian panjang perdebatan di muka pengadilan. Solomon Northup adalah sebagian kecil warga kulit hitam New York yang mendapat hak tersebut.

Pada 1841, Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor) yang mahir bermain biola ikut serta dalam rombongan sirkus keliling. Tergiur akan pendapatan lebih, Solomon pun turut serta untuk pertunjukan di Washington DC. Hidup Solomon berubah total saat tiba di DC. Solomon dijual sebagai budak dan dikapalkan menuju Selatan yang masih melegalkan perbudakan saat itu. Usaha Solomon menunjukkan bahwa dirinya adalah warga Negara bebas tidak berhasil, bahkan penjual budak melekatkan nama baru pada Solomon: Platt.

“karir budak” Platt dimulai saat ia bekerja pada William Ford (Benedict Cumberbatch), seorang yang digambarkan ramah dan baik hati. Platt mengabdi pada Ford dengan cukup baik, bahkan atas prestasinya, Ford menghadiahi Platt sebuah biola. Namun, kegemilangan Platt memicu kecemburuan salah seorang mandor, John Tibeats (Paul Dano). Kecemburuan ini membuat Platt disiksa terus menerus oleh Tibeats, sehingga Ford yang berhutang akhirnya memutuskan menyerahkan Platt kepada tuan tanah lainnya, Edwin Epps (Michael Fassbender).

Ditangan Epps, kondisi para budak tidaklah lebih baik. Platt harus menerima cambukan setiap hari karena jauh dibawah target panen kapas. Bahkan, pencapaian panen kapas perhari kalah dengan Patsy (Lupita Nyong’o). Platt dan sejumlah budak sempat “dipinjamkan” Epps kepada Hakim Turner. Sekembalinya dari peminjaman, Platt dan budak lainnya kembali menerima siksaan dan cambukan dari Epps. Peluang Platt untuk kembali ke rumah dan menjadi warga Negara yang bebas muncul saat bertemu Bass (Brad Pitt), seorang pendukung anti perbudakan.

Duabelas tahun menjadi budak, Solomon akhirnya kembali menjadi warga Negara yang bebas. Film ini disandarkan pada kejadian sebenarnya seorang Solomon Northup yang menulis buku “12  Years a Slave” yang berisi pengalamannya menjalani hidup sebagai seoran budak. Penggambaran kondisi budak kulit hitam pada masa abada 19 direkam sangat baik. Sejumlah master pemilik budak digambarkan (masih) memiliki sifat kemanusiaan, meskipun tidak bisa berbuat banyak karena keadaan.

Film ini tidak saja merekam perjalanan hidup Solomon Northup, tapi juga merekam budak dan perbudakan. Pada masanya, budak dan perbudakan menjadi sah dan legal menurut undang-undang di Negara-negara bagian selatan. Berbeda dengan utara yang mulai bergerak ke arah industri mesin, selatan masih mengandalkan pada komoditi pertanian. Lahan-lahan pertanian komoditi kapas, tebu, dan sejumlah komoditi pertanian lainnya tersebar di kawasan selatan, mulai dari Mississipi, Lousiana, Virginia, Georgia, Alabama, Texas dan sejumlah Negara bagian lainnya. Komoditi berbasis lahan yang besar ini memicu kebutuhan tenagakerja yang sangat banyak. Tenagakerja ini berasal dari budak-budak yang diperjualbelikan secara legal dan dilindungi UU setempat.

Budak-budak di AS, umumnya berasal dari Afrika. Sembilanbelas budak pertama datang mendarat di Virginia dibawa oleh pedagang budak Belanda pada 1619. Gelomban kedatangan berikutnya meluas karena permintaan akan budak setiap tahun meningkat. Diperkirakan ada sekitar 600.000 orang menjadi budak di AS selama kurun waktu dua abad perbudakan di AS. Ada yang diimpor langsung dari Afrika, maupun yang menjadi budak karena keturunan. Di masa itu, seorang yang lahir dari budak otomatis akan menjadi budak.

Berakhirnya karir budak seseorang dapat diperoleh hanya oleh dua cara: meninggal dunia atau memperoleh hak istimewa melalui persidangan. Kondisi hidup para budak masa itu mempercepat budak-budak meninggal. Siksaan berupa cambukan, pukulan, makanan yang tidak layak diterima budak-budak tersebut. Banyak pula yang hidupnya berakhir diujung senapan atau tiang gantungan karena mencoba kabur. Tanpa harus menghadapi pengadilan, seorang budak bisa tewas disiksa ditangan pengawas atau pemilik budak karena tuduhan mencuri paku. Hal seperti ini sering terjadi karena pemilik budak menganggap budak adalah properti, hak milik mereka yang bisa mereka perlakukan apa saja.

Budak perempuan pun tak kalah mengenaskan. Seringkali budak perempuan dicemburui istri-istri pemilik budak. Penyiksaan pun tidak hanya dilakukan master pemilik budak, tetapi juga istri-istri mereka bisa menyiksanya. Selain juga disiksa dan dicambuk, tak jarang budak perempuan harus menerima perkosaan yang dilakukan pemilik budak, hingga hamil dan melahirkan. Anak yang nantinya dilahirkan pun harus menanggung status sebagai budak sejak dalam kandungan, meskipun secara fakta adalah darah daging hasil perkosaan si pemilik. Dalam film 12 Years a Slave, Patsy mewakili bagaimana perlakuan pemilik budak terhadap budak perempuan.

Perbudakan sendiri melanggengkan White Collor Supremacy. Supremasi Kulit Putih ini mengarah pada rasisme. Sejak Presiden Lincoln mengakhiri perbudakan (terekam dengan baik melalui Lincoln (2012) karya Steven Spielberg), pemisahan warga Negara berdasarkan warna kulit tidak serta merta hilang saat perbudakan memasuki masa akhir. Bahkan di Negara-negara bagian AS di Selatan yang kental dengan sejarah perbudakan, rasisme masih mencuat. Supremasi Kulit Putih ini biasanya didengungkan oleh para pendukung-pendukung fasisme agama dan berlindung di balik ayat-ayat kitab suci. Maka tak heran, pada 12 Years a Slave misalnya, pemilik budak adalah juga pengkhotbah ayat suci yang unggul, berlindung pada ayat ayat Tuhan. Memasuki abad 20, kelindan supremasi kulit putih dan agama (Kristen) muncul lewat Ku Klux Klan dengan topeng putihnya yang khas.

Banyak film-film Hollywood mengangkat tema-tema perbudakan dan rasisme terhadap kulit hitam. Selain 12 Years a Slave, film fenomenal lainnya adalah Lincoln (2012) dan Django: Unchained (2012). Juga ada Crash (2005), Rosewood (1997), Mississippi Burning (1988) dan Driving Miss Daisy (1989). Crash dan Driving Miss Daisy bahkan diganjar Oscar untuk Best Picture. 

Khusus 12 Years a Slave, mendapat Best Picture Academy Award 2014 adalah sesuatu yang emosional, mengingat Steve McQueen adalah berkulit hitam. McQueen bersama Penata Kamera Sean Bobbit berusaha menghadirkan Solomon sesuai deskripsi buku dan sejarahnya. Syuting pun dilakukan di tempat-tempat dimana perbudakan di AS terjadi.  Bobbit menghadirkan gambar-gambar yang terasa dekat dan “menyiksa” penonton. Bukan hal mudah menonton film seperti ini yang merekam gesture dan aksi para pemain yang total bermain dengan pendekatan visual yang kebanyakan medium dan close up shot. Penonton pun larut dalam emosional yang sama seperti yang ingin ditunjukkan McQueen. McQueen tampaknya tidak ingin penonton larut dalam masa panjang Solomon menjadi budak dengan tidak menghadirkan keterangan waktu dan tempat. Duabelas tahun menjadi budak adalah pengalaman pahit yang panjang bagi Solomon, 134 menit sudah lebih dari cukup bagi penonton untuk ikut merasakan pengalaman Solomon tanpa harus terjebak pada indikator waktu dan tempat.

Para pemain juga menghadirkan kemampuan terbaiknya untuk film ini. Bahkan Fassbender dikabarkan sempat pingsan setelah adegan pemerkosaan. Sementara Lupita Nyong’o juga tak kalah emosionalnya karena memerankan budak perempuan yang leluhurnya berasal dari Afrika. Lupita, yang baru kali ini bermain film layar lebar juga diganjar Oscar untuk kategori Pemain Pendukung Wanita Terbaik.

12 Years a Slave (2013) memberikan perspektif baru atas perbudakan. Perspektif yang tentunya jauh berbeda dengan serial televisi Brasil Sinha Moca (1986) atau di Indonesia lebih dikenal dengan Little Missy. Perbudakan sendiri tidak serta merta hilang. Seperti kata McQueen, masih ada 21 juta orang terlibat perbudakan modern. Perbudakan pada masa kini mengubah bentuknya, mulai dari pekerja anak, pekerja domestik, human trafficking, prostitusi, pekerja paksa penjara dan lain-lainnya. Di Indonesia, praktek-praktek perbudakan modern banyak terjadi, termasuk soal pekerja migran.

Solomon Northup, memberi pesan yang masih relevan hingga kini: Hapuskan perbudakan. Semoga kita tidak hanya mengamini, tapi juga turut beraksi. Dan jalan itu masih panjang...

*kredit foto: http://www.imdb.com/title/tt2024544/?ref_=ttqt_qt_tt *

2 comments:

Unknown said...

Gw blm sempat nonton film nya & dipastikan bakalan segera nonton, tapi udah sempat baca review nya.. Ternyata review lo lebih menarik dari yg pernah gw baca.. Good job dul!

Dicky - answerlieswithin- said...

Makasih, Kak Tom...