“Saya dedikasikan penghargaan ini untuk orang-orang yang
selamat dari perbudakan dan 21 juta orang yang masih menderita karena perbudakan
saat ini..”
-
Steve Mc Queen (Sutradara 12 Years a Slave) saat pidato penerimaan Oscar untuk kategori Best Picture.
Solomon Northup, adalah freeman kulit hitam di New York. Hak
sebagai orang bebas ini adalah jaminan perlakuan setara atas hak-hak yang juga dimiliki
warga kulit putih lainnya dihadapan hukum Amerika Serikat pada abad 18 dan 19. Hak
sebagai orang bebas bagi warga kulit hitam ini sangat sulit didapat, terlebih
jika yang bersangkutan pernah menjadi budak. Hak istimewa ini didapat warga
kulit berwarna melalui serangkaian panjang perdebatan di muka pengadilan.
Solomon Northup adalah sebagian kecil warga kulit hitam New York yang mendapat
hak tersebut.
Pada 1841, Solomon Northup
(Chiwetel Ejiofor) yang mahir bermain biola ikut serta dalam rombongan sirkus
keliling. Tergiur akan pendapatan lebih, Solomon pun turut serta untuk
pertunjukan di Washington DC. Hidup Solomon berubah total saat tiba di DC.
Solomon dijual sebagai budak dan dikapalkan menuju Selatan yang masih
melegalkan perbudakan saat itu. Usaha Solomon menunjukkan bahwa dirinya adalah
warga Negara bebas tidak berhasil, bahkan penjual budak melekatkan nama baru
pada Solomon: Platt.
“karir budak” Platt dimulai saat
ia bekerja pada William Ford (Benedict Cumberbatch), seorang yang digambarkan
ramah dan baik hati. Platt mengabdi pada Ford dengan cukup baik, bahkan atas
prestasinya, Ford menghadiahi Platt sebuah biola. Namun, kegemilangan Platt
memicu kecemburuan salah seorang mandor, John Tibeats (Paul Dano). Kecemburuan
ini membuat Platt disiksa terus menerus oleh Tibeats, sehingga Ford yang
berhutang akhirnya memutuskan menyerahkan Platt kepada tuan tanah lainnya,
Edwin Epps (Michael Fassbender).
Ditangan Epps, kondisi para budak
tidaklah lebih baik. Platt harus menerima cambukan setiap hari karena jauh
dibawah target panen kapas. Bahkan, pencapaian panen kapas perhari kalah dengan
Patsy (Lupita Nyong’o). Platt dan sejumlah budak sempat “dipinjamkan” Epps
kepada Hakim Turner. Sekembalinya dari peminjaman, Platt dan budak lainnya
kembali menerima siksaan dan cambukan dari Epps. Peluang Platt untuk kembali ke
rumah dan menjadi warga Negara yang bebas muncul saat bertemu Bass (Brad Pitt),
seorang pendukung anti perbudakan.
Duabelas tahun menjadi budak,
Solomon akhirnya kembali menjadi warga Negara yang bebas. Film ini disandarkan
pada kejadian sebenarnya seorang Solomon Northup yang menulis buku “12 Years a Slave” yang berisi pengalamannya
menjalani hidup sebagai seoran budak. Penggambaran kondisi budak kulit hitam
pada masa abada 19 direkam sangat baik. Sejumlah master pemilik budak
digambarkan (masih) memiliki sifat kemanusiaan, meskipun tidak bisa berbuat
banyak karena keadaan.
Film ini tidak saja merekam
perjalanan hidup Solomon Northup, tapi juga merekam budak dan perbudakan. Pada
masanya, budak dan perbudakan menjadi sah dan legal menurut undang-undang di Negara-negara
bagian selatan. Berbeda dengan utara yang mulai bergerak ke arah industri mesin,
selatan masih mengandalkan pada komoditi pertanian. Lahan-lahan pertanian
komoditi kapas, tebu, dan sejumlah komoditi pertanian lainnya tersebar di
kawasan selatan, mulai dari Mississipi, Lousiana, Virginia, Georgia, Alabama,
Texas dan sejumlah Negara bagian lainnya. Komoditi berbasis lahan yang besar
ini memicu kebutuhan tenagakerja yang sangat banyak. Tenagakerja ini berasal
dari budak-budak yang diperjualbelikan secara legal dan dilindungi UU setempat.
Budak-budak di AS, umumnya
berasal dari Afrika. Sembilanbelas budak pertama datang mendarat di Virginia
dibawa oleh pedagang budak Belanda pada 1619. Gelomban kedatangan berikutnya
meluas karena permintaan akan budak setiap tahun meningkat. Diperkirakan ada
sekitar 600.000 orang menjadi budak di AS selama kurun waktu dua abad perbudakan
di AS. Ada yang diimpor langsung dari Afrika, maupun yang menjadi budak karena
keturunan. Di masa itu, seorang yang lahir dari budak otomatis akan menjadi
budak.
Berakhirnya karir budak seseorang
dapat diperoleh hanya oleh dua cara: meninggal dunia atau memperoleh hak
istimewa melalui persidangan. Kondisi hidup para budak masa itu mempercepat
budak-budak meninggal. Siksaan berupa cambukan, pukulan, makanan yang tidak
layak diterima budak-budak tersebut. Banyak pula yang hidupnya berakhir diujung
senapan atau tiang gantungan karena mencoba kabur. Tanpa harus menghadapi
pengadilan, seorang budak bisa tewas disiksa ditangan pengawas atau pemilik
budak karena tuduhan mencuri paku. Hal seperti ini sering terjadi karena
pemilik budak menganggap budak adalah properti, hak milik mereka yang bisa
mereka perlakukan apa saja.
Budak perempuan pun tak kalah
mengenaskan. Seringkali budak perempuan dicemburui istri-istri pemilik budak.
Penyiksaan pun tidak hanya dilakukan master pemilik budak, tetapi juga
istri-istri mereka bisa menyiksanya. Selain juga disiksa dan dicambuk, tak
jarang budak perempuan harus menerima perkosaan yang dilakukan pemilik budak,
hingga hamil dan melahirkan. Anak yang nantinya dilahirkan pun harus menanggung
status sebagai budak sejak dalam kandungan, meskipun secara fakta adalah darah
daging hasil perkosaan si pemilik. Dalam film 12 Years a Slave, Patsy mewakili
bagaimana perlakuan pemilik budak terhadap budak perempuan.
Perbudakan sendiri melanggengkan
White Collor Supremacy. Supremasi Kulit Putih ini mengarah pada rasisme. Sejak Presiden
Lincoln mengakhiri perbudakan (terekam dengan baik melalui Lincoln (2012) karya
Steven Spielberg), pemisahan warga Negara berdasarkan warna kulit tidak serta
merta hilang saat perbudakan memasuki masa akhir. Bahkan di Negara-negara
bagian AS di Selatan yang kental dengan sejarah perbudakan, rasisme masih
mencuat. Supremasi Kulit Putih ini biasanya didengungkan oleh para
pendukung-pendukung fasisme agama dan berlindung di balik ayat-ayat kitab suci.
Maka tak heran, pada 12 Years a Slave misalnya, pemilik budak adalah juga
pengkhotbah ayat suci yang unggul, berlindung pada ayat ayat Tuhan. Memasuki
abad 20, kelindan supremasi kulit putih dan agama (Kristen) muncul lewat Ku
Klux Klan dengan topeng putihnya yang khas.
Banyak film-film Hollywood
mengangkat tema-tema perbudakan dan rasisme terhadap kulit hitam. Selain 12
Years a Slave, film fenomenal lainnya adalah Lincoln (2012) dan Django:
Unchained (2012). Juga ada Crash (2005), Rosewood (1997), Mississippi Burning
(1988) dan Driving Miss Daisy (1989). Crash dan Driving Miss Daisy bahkan
diganjar Oscar untuk Best Picture.
Khusus 12 Years a Slave, mendapat
Best Picture Academy Award 2014 adalah sesuatu yang emosional, mengingat Steve
McQueen adalah berkulit hitam. McQueen bersama Penata Kamera Sean Bobbit berusaha
menghadirkan Solomon sesuai deskripsi buku dan sejarahnya. Syuting pun
dilakukan di tempat-tempat dimana perbudakan di AS terjadi. Bobbit menghadirkan gambar-gambar yang terasa
dekat dan “menyiksa” penonton. Bukan hal mudah menonton film seperti ini yang
merekam gesture dan aksi para pemain yang total bermain dengan pendekatan visual
yang kebanyakan medium dan close up shot. Penonton pun larut dalam emosional yang sama
seperti yang ingin ditunjukkan McQueen. McQueen tampaknya tidak ingin penonton larut dalam masa panjang Solomon menjadi budak dengan tidak menghadirkan keterangan waktu dan tempat. Duabelas tahun menjadi budak adalah pengalaman pahit yang panjang bagi Solomon, 134 menit sudah lebih dari cukup bagi penonton untuk ikut merasakan pengalaman Solomon tanpa harus terjebak pada indikator waktu dan tempat.
Para pemain juga menghadirkan
kemampuan terbaiknya untuk film ini. Bahkan Fassbender dikabarkan sempat
pingsan setelah adegan pemerkosaan. Sementara Lupita Nyong’o juga tak kalah
emosionalnya karena memerankan budak perempuan yang leluhurnya berasal dari
Afrika. Lupita, yang baru kali ini bermain film layar lebar juga diganjar Oscar
untuk kategori Pemain Pendukung Wanita Terbaik.
12 Years a Slave (2013) memberikan perspektif baru atas perbudakan. Perspektif yang tentunya jauh berbeda dengan serial televisi Brasil Sinha Moca (1986) atau di Indonesia lebih dikenal dengan Little Missy. Perbudakan sendiri tidak serta merta hilang. Seperti kata McQueen, masih ada 21 juta orang terlibat perbudakan modern. Perbudakan pada masa kini mengubah bentuknya, mulai dari pekerja anak, pekerja domestik, human trafficking, prostitusi, pekerja paksa penjara dan lain-lainnya. Di Indonesia, praktek-praktek perbudakan modern banyak terjadi, termasuk soal pekerja migran.
Solomon Northup, memberi pesan yang masih relevan hingga kini: Hapuskan perbudakan. Semoga kita tidak hanya mengamini, tapi juga turut beraksi. Dan jalan itu masih panjang...
12 Years a Slave (2013) memberikan perspektif baru atas perbudakan. Perspektif yang tentunya jauh berbeda dengan serial televisi Brasil Sinha Moca (1986) atau di Indonesia lebih dikenal dengan Little Missy. Perbudakan sendiri tidak serta merta hilang. Seperti kata McQueen, masih ada 21 juta orang terlibat perbudakan modern. Perbudakan pada masa kini mengubah bentuknya, mulai dari pekerja anak, pekerja domestik, human trafficking, prostitusi, pekerja paksa penjara dan lain-lainnya. Di Indonesia, praktek-praktek perbudakan modern banyak terjadi, termasuk soal pekerja migran.
Solomon Northup, memberi pesan yang masih relevan hingga kini: Hapuskan perbudakan. Semoga kita tidak hanya mengamini, tapi juga turut beraksi. Dan jalan itu masih panjang...
*kredit foto: http://www.imdb.com/title/tt2024544/?ref_=ttqt_qt_tt *
2 comments:
Gw blm sempat nonton film nya & dipastikan bakalan segera nonton, tapi udah sempat baca review nya.. Ternyata review lo lebih menarik dari yg pernah gw baca.. Good job dul!
Makasih, Kak Tom...
Post a Comment