Sani Tawainella. Tak banyak yang
tahu nama itu. Mungkin, sebelum film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku ini
dirilis, hanya orang-orang Tulehu dan Passo, Maluku yang tahu nama itu. Sani,
mantan pemain muda berbakat sempat ikut Timnas PSSI U-15 di Piala Pelajar Asia
1996 di Brunei Darussalam. Hanya saja, Sani yang cidera kemudian harus
melupakan mimpinya bergabung dengan PSSI Baretti, sebuah tim berisi anak-anak
muda Indonesia berbakat yang diberangkatkan ke Italia untuk menimba ilmu
sepakbola.
Sani beralih menjadi tukang ojek.
Waktu itu, Ambon sedang panas-panasnya. Kerusuhan berbau agama merebak
diseantero Ambon. Dalam sebuah momen, ia melihat anak kecil tertembak di
tengah-tengah kerusuhan. Tulehu, desa kelahiran Sani, juga tak luput dari
kerusuhan ini. Setiap ada bunyi tiang listrik dipukul, saat itu juga terjadi
rusuh massa. Sani yang tak ingin anak-anak di desanya menjadi korban kerusuhan,
lantas mengajak anak-anak itu bermain sepakbola.
Sani Tawainella (Chico Jericho) bersama
Rafi Lestaluhu melatih anak-anak Tulehu bermain sepakbola, sampai akhirnya
mereka pecah kongsi. Rafi tetap bersama Tulehu Putra, dan Sani melatih SMK Passo.
Kedua tim berhadapan pada babak final sebuah kompetisi sepakbola lokal yang
dimenangkan Tulehu Putra. Arus lurus menceritakan ada kompetisi sepakbola
nasional di Jakarta yang membuat Maluku harus membuat “timnas”. Timnas ini
beranggotakan anak-anak Tulehu dan Passo.
Disinilah kisah bermulai. Seperti
film-film bertema olahraga (sport) yang lain, perjalanan film ini berkutat
antara keutuhan tim, semangat juang dan motivasi. Dalam Beta Maluku, unsur
meredam konflik berbau SARA menjadi kampanye tersendiri. Terlihat bagaimana
dendam antar penduduk desa masih ada, bahkan setelah keduanya disatukan dalam
sepakbola.
Bukan hal mudah meredam konflik
dan kemudian merawat perdamaiannya. Ada saja benih-benih dendam seperti sikap
Salembe (Bebeto Leutally) yang kemudian membenci rekan satu tim yang berasal dari
Passo. Sani terlihat susah payah menjaga hal-hal buruk dan nyaris menyerah.
Sani sendiri punya masalah lain dengan keluarganya.
Seperti halnya kisah-kisah heroik
pelatih olahraga, ada momen-momen penting yang membuat kita berfikir tentang
masa depan anak-anak ini nantinya. Ada kegusaran yang mengganggu para pelatih
itu. Seperti Ken Carter dalam Coach Carter (2005) yang risau akan masa depan
anggota tim basketnya yang hidup dilingkungan keras dan penuh kekerasan. Atau Kim
Won-Kang di A Barefoot Dream (2010) yang mati-matian berusaha membawa Timnas
U-16 Timor Leste bertanding di Jepang.
Pada Sani, kekhawatiran terhadap
nasib anak-anak Maluku yang penuh dendam akibat kerusuhan berusaha diredam
dengan sepakbola. Bahkan demi mewujudkan impian besarnya, Sani rela mengabaikan
keluarganya. Namun, baik Sani maupun Kim, misalnya, ingin sesuatu yang mereka
mulai, akan ada hasilnya diujung nanti.
Bagai pisau bermata dua, sepakbola
sendiri, meski bisa mendamaikan, namun sering juga menjadi lahan subur konflik
fanatisme berlebihan yang justru bisa membunuh sportivitas itu sendiri. Bagi
sebagian orang, sepakbola adalah agama, dan fanatisme terhadap klub tertentu
menjadi mazhab yang harus dibela sampai mati. Pada masa kerusuhan Ambon, Tulehu
dan Passo mewakili dua entitas berbeda yang bertempur di lapangan hijau:
Tulehu, Islam dan Passo, Kristen. Mau tidak mau, ada persoalan dendam yang
tidak mudah terselesaikan begitu saja. Sampai-sampai Salembe menaruh dendam
kesumat.
Cahaya Dari Timur: Beta Maluku
sesungguhnya film apik yang musti ditonton bersama-sama. Film ini tidak saja
menghadirkan kisah inspiratif nyata dari tanah Maluku, tetapi juga berbagai
usaha merawat perdamaian pasca konflik digambarkan disini. Karakter-karakter
seperti Sani, Rafi, Yosef, Jago, Salembe, Kasim, Fanky, Akbar dan lain-lain
adalah nyata adanya. Bahkan, Alfin Tualasamony (Burhanudin Ohorella) adalah contoh paling hidup pesepakbola sukses
hasil didikan Sani. Tak ada penggambaran berlebihan lansekap khas Indonesia Timur yang indah, karena ini bukan film pemandangan.
Film yang berangkat dari kisah
nyata memang punya kesulitan menemukan plotnya sendiri. Banyak karakter penting
yang diusahakan masuk dalam pengadeganan. Namun, beberapa terkesan seperti “ujug-ujug
ada”. Seperti Sofiyan (Glenn Fredly) atau Bapak Raja. Kedua tokoh ini memang
penting dalam garis tangan Sani, hanya saja kehadirannya cuma sekedar tempelan.
Atau saat penggambaran konflik yang tampaknya mau dihadirkan cepat tapi malah
membuat arus cerita jadi sedikit lambat dan cenderung "memaksa" penonton menikmatinya. Juga berkali-kali istri Sani, Haspa
(Shafira Umm), mengeluh soal kondisi keuangan dan kegiatan Sani, sepertinya karena
terlalu sering ditampilkan, akhirnya jadi lebay. Hanya Salembe yang sukses menjadi pencuri adegan pada setiap kemunculannya.
Kesulitan-kesulitan tadi ditutup
dengan sempurna berkat naskah yang diusahakan menggunakan dialek Ambon. Buat
penonton awam yang belum pernah ke Ambon, akan ditunjukkan bagaimana obrolan di
Ambon itu mengalir, mirip seperti orang bernyanyi. Kegigihan para aktor dan
pemain untuk menggunakan dialek Ambon cukup untuk menggambarkan bahwa ini kisah
tentang Maluku. Walhasil, keluar bioskop rasanya mendadak jadi bagian dari Ambon dan Maluku.
Seperti film-film bertema olahraga yang lain, puncak emosi adalah saat tim tersebut merasa dibawah tekanan dan putus asa, dan pelatih akan memompa motivasi pemainnya. Chico berhasil menghadirkan emosi tersebut ke penonton lewat orasinya tentang Maluku di kamar ganti. "Ini bukan Islam, ini bukan Kristen, ini Beta.. Maluku!" Sesungguhnya, pengadeganan seperti inilah kunci utama film-film bertema olahraga.
Menonton film-film bertema olahraga itu selalu mengasyikkan. Tidak hanya soal harubiru kemenangan di lapangan, tetapi juga menonton bagaimana usaha mencapai kemenangan di luar lapangan adalah juga hal terpenting. Bagi Sani, usahanya meredam konflik lewat sepakbola adalah pencapaian luar biasa. Tantangan beratnya, baik bagi Sani maupun bagi kita semua, adalah merawat perdamaian itu sendiri. Film ini, bagaimanapun, adalah salah satu usaha merawat perdamaian dan meredam konflik. Salut!
Menonton film-film bertema olahraga itu selalu mengasyikkan. Tidak hanya soal harubiru kemenangan di lapangan, tetapi juga menonton bagaimana usaha mencapai kemenangan di luar lapangan adalah juga hal terpenting. Bagi Sani, usahanya meredam konflik lewat sepakbola adalah pencapaian luar biasa. Tantangan beratnya, baik bagi Sani maupun bagi kita semua, adalah merawat perdamaian itu sendiri. Film ini, bagaimanapun, adalah salah satu usaha merawat perdamaian dan meredam konflik. Salut!
*kredit foto: http://cahayadaritimur.com/#galeri