Sebelum lanjut membaca, saya
sarankan sudah menonton filmnya atau paling tidak membuka pintu pemikiran yang
lepas dari ke-kaku-an cara berfikir. Film ini menjadi kontroversi karena
sesungguhnya ada penolakan tentang cara berfikir yang lain.
Cinta Tapi Beda (2012) berkisah
tentang Cahyo Fadholli (Reza Nangin), perantau Jogja yang muslim dan bekerja
menjadi juru masak di sebuah restoran. Cahyo digambarkan taat beribadah, lahir
dari keluarga Jawa-Islam yang sesungguhnya toleran. Cahyo bertemu Diana
Fransisca (Agni Prathista), mahasiswi Seni Tari asal Padang yang Katholik.
Sampai disini, kisah bergulir antara dua manusia saling mencinta yang mendapat
tentangan dari kedua orang tua karena hubungan yang beda keyakinan.
Kisah percintaan dua manusia
dalam film ini sebenarnya biasa saja. Konflik hubungan yang ditolak kedua orang
tua pun masalah klasik. Dari film Indonesia di tahun 70 dan 80-an, masalah ini
seringkali jadi tema film. Rhoma Irama, Rano Karno, Yessy Gusman, Yatie
Octavia, dan sederet aktor-aktris Indonesia yang besar pada periode itu,
kenyang dengan tema film yang berisi cinta ditolak orang tua.
Isu besar yang menjadikan Cinta
Tapi Beda berbeda adalah latar belakang budaya masing-masing karakter.
Persoalan terbesar yang ramai dibicarakan adalah keberadaan sosok Diana yang
berasal dari Padang, Sumatera Barat dan beragama Katholik. Kubu yang kontra
melihat bahwa ini sangat menyalahi akar budaya Minang, yang bersendikan Kitab
Suci Al Qur’an. Sebagian bahkan melihatnya sebagai pelecehan dan penghinaan
terhadap budaya Minang.
Budaya Minang erat kaitannya
dengan konsep adat istiadat: Adat Basandiang Syara, Syara Basandiang
Kitabullah. Konsep adat Minang ini lahir sejak masa Kerajaan Pagaruyung di
abad 16. Sebelumnya, masyarakat Minangkabau memeluk agama Hindu dan Budha,
sebagaimana sebagian besar orang Indonesia pra-Islam. Konsep Adat Basandiang Syara, Syara Basandiang
Kitabullah menjadi sebuah hukum adat yang ketat dan mengikat setelah Perang
Padri pertama berakhir pada 1825 dengan perjanjian damai antara Padri (Ulama)
pendukung syariat, dan Kaum Adat yang mendukung adat Minang pra-Islam. Sejak
saat itu, Minang pasti memeluk Islam sebagai agamanya. Jika bukan Islam, maka
bukan Minang.
Maka apakah benar Diana yang Katholik
dan berasal dari Padang itu orang Minang? Mungkin saya sedang tak fokus saat
menonton, jadi mohon dikoreksi. Begini tafsiran saya…
Ada satu scene yang menjadi kunci
sebetulnya tentang bagaimana asal-usul Diana. Saat keduanya saling sindir
karena dikontrol orangtua masing-masing, Cahyo menyebut Diana dari Padang, dan
kemudian mengajukan pertanyaan apakah (juga) bersuku Minang. Diana hanya
tersenyum meninggalkan tafsiran penonton. Apa yang ditanya Cahyo, mungkin juga
sama dengan kebanyakan orang yang kemudian menafsirkan Padang = Minang. Padahal
belum tentu demikian.
Maka dibenak saya, Diana memang
berasal dari Padang, tapi bukan Minang. Bisa saja dia berasal dari budaya dan
adat yang berbeda dari Minang yang belum tentu Muslim pula, pindah dan menetap
secara turun temurun di kota Padang. Atau katakanlah dia memang Minang, dan
sesuai hukum adat, ketika keluarganya beralih menjadi Non-Islam maka dia tidak
berhak menyandang Minang. Maka, Diana hanya tersenyum saat ditanya Cahyo dan menyisakan
tafsiran para penontonnya.
Persoalan pernikahan beda agama antara
Islam dan Non Islam di Indonesia tidak bisa dilakukan dan sudah menjadi
keputusan yang tidak bisa (mau?) diganggugugat. Melalui UU no. 1/74, seluruh
sistem pernikahan di Indonesia akan diakui melalui hukum formal Negara. Para
pelaksanya pencatatan sipil di lembaga perkawinan Negara (KUA) menutup pintu
rapat-rapat terhadap pernikahan berbeda agama antara Islam dan Non Islam
Padahal, semestinya, tugas Negara cukup sampai mencatat perkawinan dalam lembar
hukum formal dan memberikan hak-hak dan kewajiban kedua mempelai yang
dilindungi UU, bukan bertindak cukup jauh dalam persoalan personal.
Tapi yang menarik buat saya
selain latar budaya adalah bagaimana dominasi orang tua terhadap anak yang
sudah bisa mengambil keputusan dan bertanggungjwab akan keputusannya itu
sendiri. Cinta Tapi Beda “menyentil” dua budaya mayoritas dan minoritas
sekaligus dalam sebuah tata masyarakat formal yang bernama negara. Di film itu,
Bapaknya Cahyo dan Mamanya Diana sangat
dominan dalam keputusan domestik rumahtangga masing-masing. Mamanya Diana
semakin kaku memproteksi Diana karena tidak saja menjadi orangtua tunggal, tapi
juga merasa telah kehilangan anak-anaknya yang lain. Sementara Bapaknya Cahyo
begitu dominan karena patron budaya patrilineal (Jawa) yang menempatkan
dominasi laki-laki dalam masyarakat.
Kritik lain yang disampaikan
adalah keberanian perempuan (Jawa) mendebat keputusan suaminya. Tahu lah stigma
perempuan Jawa dalam rumahtangga bagaimana. Maka ketika Ibu Munawaroh mendebat
keputusan Pak Fadholli, disitu letak kritiknya. Di satu sisi ada perempuan yang
bangkit dari sub-ordinat laki-laki, di sisi lain ada perempuan yang juga
menjadi sangat dominan.
Porsi kritik terhadap dominasi
orangtua dalam film ini buat saya tidak mengajak segenap orang untuk melawan
dan durhaka sama orangtua, sebagaimana ada tuduhan lain tentang film ini, tapi
itu bentuk untuk meninggalkan ke-kaku-an berfikir di dalam rumah. Bahwa,
misalnya, “kekerasan domestik” tidak terjadi jika saja orangtua juga mau duduk
sejajar mendengarkan apa yang jadi keinginan anak.
Dari banyak karakter yang muncul,
saya justru prihatin dengan Oka (Choky Sitohang) yang sebagai lelaki Batak tapi
tunduk justru bukan karena kemauan sendiri, bahkan bukan kemauan orangtuanya
sendiri, tetapi kemauan orangtua lain.
Menonton Cinta Tapi Beda
mengingatkan saya pada Meet The Fockers dan Monster In Law dalam sajian yang
lebih serius. Pada Meet The Fockers, ada kisah dua keluarga dengan budaya yang
berbeda tetapi berusaha menghilangkan sekat-sekat tersebut. Monster In Law,
sebagaimana Mamanya Diana, Viola Fields berusaha menghancurkan hubungan
anaknya, Kevin Fields, dengan Charlotte.
Film CTB ini sebenarnya menarik
untuk dikaji dan dibahas mendalam dalam kerangka kritik film dan budaya. Sebagai
sebuah hasil kerja seni, Cinta Tapi Beda memiliki pendukung pro dan kontra,
sama seperti hasil karya seni yang lain. Namun sayang, banyak kalangan yang
kontra enggan menonton utuh film ini, bahkan secara saklek menutup pintu tafsir
terhadap karya.
No comments:
Post a Comment