Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Friday, January 25, 2013

Dibalik Frekuensi (2013): Pukulan Telak ke Wajah Buruh Media



“Media kan harusnya berikan fakta, bukan fuck you..”- Ucup.

Kutipan menarik saat Ucup, lulusan baru sarjana Komunikasi sebuah kampus di Bandung saat melangkahkan kakinya berburu pekerjaan menjadi jurnalis di sebuah stasiun televisi berita. Menjadi jurnalis, terutama jurnalis televisi, memang menjadi godaan profesi terbesar bagi lulusan baru (fresh graduated). Blink-blink-nya lebih menggema ketimbang blong-blong-nya. Magnet prestise bekerja menjadi jurnalis menarik sejumlah lulusan baru untuk antri mengikuti proses seleksi. Sebagian tertampung, sebagian lagi harus melupakan mimpinya menjadi wartawan.

Film dokumenter Dibalik Frekuensi hasil kerja Ucu Agustin dan kawan-kawan sedikit memotret blong-blong-nya menjadi jurnalis di sebuah media yang menggunakan frekuensi milik publik: Televisi. Lewat Luviana yang minta dipekerjakan kembali di MetroTV, Ucu mengajak para jurnalis (muda) untuk sadar kelas. Pendekatan kelasnya sederhana, bahwa selama dia tidak memiliki modal produksi dan jadi bagian dari industri, maka dia termasuk kelas buruh.

Kasus Luviana sendiri menyita perhatian para aktivis kebebasan berserikat. Luviana yang pada awalnya “hanya” mempertanyakan status job-desc dan kesejahteraan karyawan, berbuntut panjang dengan berujung pada pemecatan. Meski apa yang diperjuangkan Luviana adalah bukan semata untuk dirinya sendiri, tapi juga tindakan konkrit gerundelan para buruh media. Tindakan konkrit Luviana inilah yang mengakibatkan dia kehilangan pekerjaannya. Bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Luviana berhadapan dengan pemilik dan memperjuangkan hak-haknya.

Fenomena lain yang direkam Ucu adalah bagaimana sebuah stasiun televisi terkooptasi dengan kepentingan pemiliknya. Jurnalis yang bekerja dipaksa untuk mengangguk pada keinginan pemilik. Sadar bahwa televisi (bisa) menjadi corong kampanye, pemilik media TV akan menggunakan secara maksimal keberadaan layarnya di ruang-ruang privat penontonnya di rumah. Framing dan berita yang dibuat newsroom harus mencerminkan kepentingan pemilik yang notabene juga ketua partai dan punya kepentingan tertentu. Bukan kebetulan pada isu ini, Ucu memunculkan bagaimana persaingan media dalam menentukan framing berita antara MetroTV dan TVOne. Dan disini, media seharusnya memberikan fakta seperti yang diingat Ucup di atas. 

Kritik news framing pada dua stasiun TV berita ini terlihat pada saat keduanya memotret perjuangan Heri Suwandi. Heri Suwandi dengan gagah berani dan langkah tegap berjalan kaki 827 km hampir sebulan dari Porong, Sidoarjo menuju Jakarta. Ditemani Harto Wiyono, Heri ingin menyampaikan keluh kesah pengungsi Lumpur Lapindo langsung kepada Presiden SBY dan Bakrie. Harto Wiyono sendiri juga merekam aktivitas perjalanan keduanya menggunakan kamera video telepon seluler. Melalui Heri Suwandi, kedua TV berita saling serang opini dan framing pemberitaan.

Framing pemberitaan Heri Suwandi ini tidaklah lepas dari kebijakan pemiliknya masing-masing. Terutama karena kedua pemilik juga menjadi politisi dan punya ambisi kepentingan tertentu. Tekanan pada newsroom juga menguat seiring dengan pencitraan sang pemilik. Pada satu titik, jurnalis peliput yang di lapangan lah yang sebenarnya dirugikan. Terlihat pada footage dokumenter ini bagaimana Heri Suwandi mengusir tim liputan dari TVOne, dan sangat terbuka dengan jurnalis lain.

Perang opini terjadi. MetroTV memberitakan gagah beraninya Heri Suwandi dalam menagih ganti rugi yang dialami korban Lumpur Lapindo, sementara TVOne menelanjangi siapa Heri Suwandi sebenarnya. Silang sengkarut framing pemberitaan mendadak berhenti saat Heri Suwandi memohon maaf kepada keluarga Bakrie di sebuah acara siaran langsung di TVOne. Sejak itu Heri Suwandi menghilang di telan bumi.

Banyak orang kemudian mempertanyakan motif Heri Suwandi berbuat demikian: jalan kaki Porong-Jakarta dan “menantang” Bakrie untuk kemudian menangis di televisi. Bahkan rekan seperjalanan, Harto, juga merasa dibohongi. Begitu juga penggiat advokasi korban lumpur yang lain. Berhadapan dengan pemilik modal yang juga politisi tentu meninggalkan catatan dan tandatanya besar. Disinilah Ucu Agustin memotret pengkhianatan akan sebuah perjuangan. Footage-footage video yang dimiliki Harto menjadi artefak berharga akan sebuah konsistensi perjuangan melawan pemilik media. Footage-footage milik Harto, ditambah dengan rekaman pertemuan Luviana dengan Surya Paloh menjadi sumber visual penting dokumenter ini. 

Konsistensi dan pengkhianatan adalah dua isu besar yang digambarkan dalam film ini. Entah dengan siapapun rakyat kecil dihadapkan, ujian terbesar adalah sejauh mana perjuangan itu mendapatkan kemenangannya sendiri. Heri Suwandi, mungkin sudah mendapatkan kemenangannya dengan mengkhianati kata-katanya sendiri saat berjalan kaki. Sementara Luviana belum mendapat kemenangan besarnya, setelah kemenangan-kemenangan kecilnya kembali diingkari pemilik modal.

Dibalik “cerahnya” profesi jurnalis di kalangan anak muda, tak sedikit pula yang menganggapnya hanya sebuah profesi. Profesi kelas menengah yang identik dengan akses dan keterbukaan informasi dari sumber pertama. Sejatinya, jurnalis sama seperti profesi yang lain: Selama dia tidak memiliki modal produksi, dia juga bagian dari buruh. Buruh media, sebagaimana buruh pada industri yang lain, juga mengalami ketertindasan dan ketidakadilan dari pemilik modal. Kita lama dibuai dengan analogi buruh sebagai “idiom kiri”, “komunis” dan sebagainya. Jika alergi dengan kata buruh, gunakan saja Kelas Pekerja, atau kalau mau lebih frontal, adopsi kata lain menurut versi band metal Suckerhead: Budak Industri.

Film dokumenter ini menjadi film penting yang bagus. Dengan durasi 144 menit, mampu bertutur dengan baik bagaimana frekuensi digunakan para pemilik stasiun TV (berita) melalui perjuangan buruh (Luviana) dan Heri Suwandi (Korban Lapindo[?]), tentang konglomerasi media dan tipu dayanya.. Ia bercerita bukan melulu soal kebohongan, tetapi juga hak manusia. Isu-isu tentang kesejahteraan buruh media dan perilaku manajemen menjadi titik utama cerita dokumenter ini. Sebagai bagian dari buruh media, saya merasa diingatkan dan ditohok bolak-balik oleh kombinasi pukulan telak di wajah.

Dibalik itu semua, masih banyak jurnalis yang masih berkutat dengan idealisme klasik jurnalistik, bahwa berita dan ruang redaksi harus bebas kepentingan. Buat saya, dokumenter ini WAJIB TONTON untuk para jurnalis, calon jurnalis, lulusan baru sarjana (komunikasi) yang ingin jadi jurnalis, pura-puranya jurnalis dan segenap buruh media lainnya. Meski dengan fakta yang dikemas dalam dokumenter ini, peminat profesi jurnalis (televisi) tentunya tak akan surut. Gegap gempita lampu sorotnya lebih menguat. Pengantrinya panjang, “sampai Tanjung Priok…”, kata sebuah stasiun televisi… Siap antri?

*kredit foto: http://www.facebook.com/media/set/?set=a.171227513020721.55553.168757719934367&type=3*

No comments: