"Ketika
mengambil gambar, kamera melindungiku.." - Emad Burnat
Kalimat
ini klasik. Jurnalis foto dan televisi pasti paham esensi kalimat ini. Begitu
juga Emad Burnat, yang merekam 90 persen footage film dokumenter Five Broken
Cameras. Melalui (mata) kameranya, Emad Burmat menggambarkan kegelisahan akan
never ending conflict di tanahnya: Palestina.
Emad
Burnat merekam konflik Israel-Palestina sebagai bentuk kekhawatirannya terhadap
tumbuh kembang anak-anaknya, terutama Gibreel. Sejak kelahiran Gibreel pada
2005, Emad yang berasal dari keluarga petani zaitun, membeli kamera pertamanya
untuk merekam perkembangan Gibreel. Namun, perjalanan film dokumenter ini tak
berhenti pada Gibreel.
Film ini
berkisah tentang konflik pembangunan pemukiman Yahudi-Israel di sekitar wilayah
Bil’in, Tepi Barat, Palestina tempat Emad dan keluarganya tinggal. Dengan
kesadaran tinggi, Emad merekam footage-footage proses pembangunan pemukiman dan
pagar pembatas. Emad juga merekam banyak aksi penolakan yang dijalankan
penduduk Bil’in dibawah komando dua bersaudara: Pheel (Baseem Abu Rahmah) dan
Abbad (Abdullah Abu Rahmah).
Aksi-aksi
penolakan terhadap pembangunan pemukiman dan pagar pembatas itu selalu diadakan
setiap minggu setelah sholat jum’at. Aksi massa ini mendapat dukungan dari
banyak orang dari berbagai Negara yang simpati terhadap perjuangan warga Bil’in.
Aksi tanpa senjata ini selalu dibalas oleh hujan gas airmata, tembakan peluru
dan lemparan batu dari serdadu Israel yang berjaga di sekitar pembatas.
Tak hanya
itu, tentara Israel juga melakukan penyisiran di desa Bil’in dan menangkapi banyak
orang, termasuk anak-anak. Setiap kali
tentara Israel memasuki desa, selalu disambut dengan lemparan batu dari warga
Bil’in. Khaled, saudara Emad pun sempat ditangkap tentara Israel. Emad bahkan
tetap merekam dengan stabil dan tak berjarak.
Emad
Burnat, yang kemudian bekerja sebagai jurnalis televisi, merekam semua kejadian
dengan sempurna dan tanpa rasa takut. Justru pada beberapa bagian, Emad terdengar
“menantang” tentara Israel dengan mengatakan bahwa ia punya hak dan dilindungi
Undang-undang untuk mengambil gambar. Terutama saat tentara masuk ke rumahnya.
Gambar-gambar
yang dihasilkan Emad termasuk gambar yang berani. Sebagai jurnalis, dia bebas
bergerak ke sisi Palestina maupun Israel dan menghasilkan gambar-gambar dinamis.
Emad juga bekerja tidak kenal takut. Sebagai bagian dari jurnalis yang berjalan
di sisi Palestina, tak jarang ia terkena lemparan batu dari tentara Israel,
atau malah menghirup gas airmata yang dilontarkan Israel. Bahkan 3 kameranya sempat dilubangi peluru
tajam tentara Israel.
Sebagai
jurnalis, dia punya kewajiban memberitakan apa yang terjadi di Bil’in se-akurat
dan se-netral mungkin. Tetapi toh sebagai seorang ayah, ia punya kekhawatiran
tentang keluarganya. Melalui Gibreel, Emad berusaha menggambarkan kekhawatiran
seorang ayah, bukan hanya dirinya, tetapi juga keluarga lain di seluruh
Palestina yang hidup di bawah bayang-bayang konflik berkepanjangan. Sangat
terlihat bahwa Emad khawatir akan bagaimana Gibreel hidup ketika besar nanti,
sementara sedari kecil Gibreel melihat kekerasan, termasuk tewasnya Pheel.
Nah, buat
saya, shot Emad ketika menyaksikan Pheel tewas adalah yang paling baik. Dia
merekam sebagai seorang jurnalis profesional. Dia tidak emosional, meskipun
yang tertembak dan tewas adalah sahabatnya sendiri. Emad juga merekam
kekhawatiran Gibreel tentang tentara Israel dengan cukup baik dalam satu shot.
Aktifitas
Emad merekam segala bentuk aksi di Bil’in dan kengototannya mengambil gambar
meresahkan tentara Israel. Karena kegiatannya inilah, meski dilindungi hukum karena
berprofesi sebagai Jurnalis, Emad ditangkap tentara Israel dan kemudian
menjalani tahanan rumah selama satu tahun. Ancaman dipenjara pun dihadapi Emad,
meski istrinya tak tahan dengan kegiatan Emad merekam video. Emad juga terlilit
hutang karena sempat dirawat di rumah sakit di Tel Aviv karena kecelakaan.
Meskipun begitu, pemerintah Palestina tidak membantunya sama sekali.
Selama
kurun waktu 5 tahun merekam kekacauan di Bil’in, Emad “menghabiskan” 5 kamera,
yang semuanya rusak karena aktifitasnya merekam aksi-aksi di sekitar pembatas
dan pemukiman Yahudi-Israel. 3 diantaranya tertembus peluru tajam tentara
Israel. Maka benarlah kalimat Emad, bahwa kamera melindunginya…
Footage-footage
yang dia hasilkan selama 5 tahun kemudian di edit oleh sutradara Israel, Guy
Davidi, dengan bantuan dana dari banyak pendonor, salah satunya, dari Israel juga. Film yang
disambut positif oleh kritikus ini juga berlaga di perhelatan Academy Awards
2013 kategori film dokumenter. Meski banyak yang menilai bahwa film ini bias
kepentingan, tetapi apa yang diusahakan Emad dan Davidi melalui film ini adalah
salah satu bentuk perlawanan terhadap pemberitaan pada media mainstream yang
cenderung pro Israel.
*Sila simak Wawancara Filmlinc dengan Emad Burnat di http://www.filmlinc.com/blog/entry/interview-with-emad-burnat-5-broken-cameras *
No comments:
Post a Comment