Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Saturday, December 08, 2012

5 Broken Cameras (2011)



"Ketika mengambil gambar, kamera melindungiku.." - Emad Burnat 

Kalimat ini klasik. Jurnalis foto dan televisi pasti paham esensi kalimat ini. Begitu juga Emad Burnat, yang merekam 90 persen footage film dokumenter Five Broken Cameras. Melalui (mata) kameranya, Emad Burmat menggambarkan kegelisahan akan never ending conflict di tanahnya: Palestina.

Emad Burnat merekam konflik Israel-Palestina sebagai bentuk kekhawatirannya terhadap tumbuh kembang anak-anaknya, terutama Gibreel. Sejak kelahiran Gibreel pada 2005, Emad yang berasal dari keluarga petani zaitun, membeli kamera pertamanya untuk merekam perkembangan Gibreel. Namun, perjalanan film dokumenter ini tak berhenti pada Gibreel. 

Film ini berkisah tentang konflik pembangunan pemukiman Yahudi-Israel di sekitar wilayah Bil’in, Tepi Barat, Palestina tempat Emad dan keluarganya tinggal. Dengan kesadaran tinggi, Emad merekam footage-footage proses pembangunan pemukiman dan pagar pembatas. Emad juga merekam banyak aksi penolakan yang dijalankan penduduk Bil’in dibawah komando dua bersaudara: Pheel (Baseem Abu Rahmah) dan Abbad (Abdullah Abu Rahmah).

Aksi-aksi penolakan terhadap pembangunan pemukiman dan pagar pembatas itu selalu diadakan setiap minggu setelah sholat jum’at. Aksi massa ini mendapat dukungan dari banyak orang dari berbagai Negara yang simpati terhadap perjuangan warga Bil’in. Aksi tanpa senjata ini selalu dibalas oleh hujan gas airmata, tembakan peluru dan lemparan batu dari serdadu Israel yang berjaga di sekitar pembatas.

Tak hanya itu, tentara Israel juga melakukan penyisiran di desa Bil’in dan menangkapi banyak orang, termasuk anak-anak.  Setiap kali tentara Israel memasuki desa, selalu disambut dengan lemparan batu dari warga Bil’in. Khaled, saudara Emad pun sempat ditangkap tentara Israel. Emad bahkan tetap merekam dengan stabil dan tak berjarak.

Emad Burnat, yang kemudian bekerja sebagai jurnalis televisi, merekam semua kejadian dengan sempurna dan tanpa rasa takut. Justru pada beberapa bagian, Emad terdengar “menantang” tentara Israel dengan mengatakan bahwa ia punya hak dan dilindungi Undang-undang untuk mengambil gambar. Terutama saat tentara masuk ke rumahnya.

Gambar-gambar yang dihasilkan Emad termasuk gambar yang berani. Sebagai jurnalis, dia bebas bergerak ke sisi Palestina maupun Israel dan menghasilkan gambar-gambar dinamis. Emad juga bekerja tidak kenal takut. Sebagai bagian dari jurnalis yang berjalan di sisi Palestina, tak jarang ia terkena lemparan batu dari tentara Israel, atau malah menghirup gas airmata yang dilontarkan Israel.  Bahkan 3 kameranya sempat dilubangi peluru tajam tentara Israel.

Sebagai jurnalis, dia punya kewajiban memberitakan apa yang terjadi di Bil’in se-akurat dan se-netral mungkin. Tetapi toh sebagai seorang ayah, ia punya kekhawatiran tentang keluarganya. Melalui Gibreel, Emad berusaha menggambarkan kekhawatiran seorang ayah, bukan hanya dirinya, tetapi juga keluarga lain di seluruh Palestina yang hidup di bawah bayang-bayang konflik berkepanjangan. Sangat terlihat bahwa Emad khawatir akan bagaimana Gibreel hidup ketika besar nanti, sementara sedari kecil Gibreel melihat kekerasan, termasuk tewasnya Pheel.

Nah, buat saya, shot Emad ketika menyaksikan Pheel tewas adalah yang paling baik. Dia merekam sebagai seorang jurnalis profesional. Dia tidak emosional, meskipun yang tertembak dan tewas adalah sahabatnya sendiri. Emad juga merekam kekhawatiran Gibreel tentang tentara Israel dengan cukup baik dalam satu shot.

Aktifitas Emad merekam segala bentuk aksi di Bil’in dan kengototannya mengambil gambar meresahkan tentara Israel. Karena kegiatannya inilah, meski dilindungi hukum karena berprofesi sebagai Jurnalis, Emad ditangkap tentara Israel dan kemudian menjalani tahanan rumah selama satu tahun. Ancaman dipenjara pun dihadapi Emad, meski istrinya tak tahan dengan kegiatan Emad merekam video. Emad juga terlilit hutang karena sempat dirawat di rumah sakit di Tel Aviv karena kecelakaan. Meskipun begitu, pemerintah Palestina tidak membantunya sama sekali. 

Selama kurun waktu 5 tahun merekam kekacauan di Bil’in, Emad “menghabiskan” 5 kamera, yang semuanya rusak karena aktifitasnya merekam aksi-aksi di sekitar pembatas dan pemukiman Yahudi-Israel. 3 diantaranya tertembus peluru tajam tentara Israel. Maka benarlah kalimat Emad, bahwa kamera melindunginya…

Footage-footage yang dia hasilkan selama 5 tahun kemudian di edit oleh sutradara Israel, Guy Davidi, dengan bantuan dana dari banyak pendonor, salah satunya, dari Israel juga. Film yang disambut positif oleh kritikus ini juga berlaga di perhelatan Academy Awards 2013 kategori film dokumenter. Meski banyak yang menilai bahwa film ini bias kepentingan, tetapi apa yang diusahakan Emad dan Davidi melalui film ini adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap pemberitaan pada media mainstream yang cenderung pro Israel. 

*Sila simak Wawancara Filmlinc dengan Emad Burnat di http://www.filmlinc.com/blog/entry/interview-with-emad-burnat-5-broken-cameras *

No comments: