Selamat Datang...

...tolong bangunkan aku esok pagi...

Monday, October 06, 2008

Laskar Pelangi

Laskar Pelangi lagi booming! Novelnya laris dan filmnya laku. Buat yang belum nonton di sarankan nonton. Hanya saja memang jangan menyamakan film dengan novelnya, karena bahasa buku dan bahasa audio visual adalah dua hal berbeda. Di tulisan kita bisa berbusa-busa menggambarkan sesuatu, tapi dalam film adalah bagaimana sesuatu itu bisa tersampaikan maknanya tanpa berbusa-busa.

Nonton film ini sampai dua kali. Pertama pas pertama kali keluar alias premiere tanggal 25 september kemarin di Setiabudi. Terus nonton lagi di Surabaya. Om Riri berhasil meyakinkan saya untuk menikmatinya lagi berkali-kali. Meski demikian beberapa scene terasa mengganggu buat saya.

Yang pertama adalah penggambaran bagaimana Ikal yang sedang dimabuk cinta monyet, cinta khas anak yang sedang puber. Penggambarannya terlalu berlebihan dengan menampilkan efek glowing dan jatuhnya bunga-bunga, seolah menggambarkan suasana hati Ikal yang sedang cerah dan dipenuhi bunga-bunga. Bagi saya, penggambaran suasana hati Ikal (mungkin) bisa digambarkan dengan cara lain, yang tidak bertele-tele dan komedik. Terlebih pada saat Ikal merasa kehilangan A Ling membuat suasana hati Ikal sepi dan digambarkan mirip film-film Stephen Chow terbitan Hongkong. Komedik...

Kedua adanya "klip" lagu yang dinyanyikan Kucai yang berusaha menghibur Ikal yang sedang gundah gulana ditinggal A Ling. Itu bagi saya juga berlebihan untuk menggambarkan kehilangan seorang anak yang sedang di mabuk cinta monyet.

Ketiga Tora Sudiro yang menurut saya kurang pas memerankan Pak Guru Mahmud. Kurang berwibawa sebagai guru. Dan yang fatal adalah dialek Melayu Belitong yang kurang fasih. Berbeda dengan para pemain yang lain (dari Jakarta) yang berusaha belajar hingga menyesuaikan denga Melayu Belitong, Tora malah terdengar seperti Orang Madura. Tora pun belum bisa melepaskan karakter komedinya, terlihat dari pertama film ini memunculkan Tora yang bersepeda disamping Bu Mus dan nyaris terjatuh.

Disamping "ketidaknyamanan" seorang penonton awam seperti saya, visualisasi LP sangat bagus. Tidak melulu menjual gambar-gambar landscape keindahan Belitong, seperti Denias yang penuh dengan landscape Papua, tapi juga menonjolkan karakter dan watak juga mimik-mimik khas anak-anak (Belitong). Untuk yang satu ini saya angkat 4 Jempol yang saya punya untuk Om Riri.

Selain itu, runtutan cerita tidak 'njelimet' dan mudah dicerna dengan pesan-pesan lugu tapi bermakna. Jujur saya terkesan dengan "..kalo nak masuk surga, pandai-pandailah kau berenang..." atau "..kita harus banyak memberi, bukan menerima.." juga menumbuhkan rasa optimistis akan cita-cita dan keinginan untuk maju. Sebuah pesan yang langka di negeri ini.

Ah..dasar penonton awam, saya bisanya cuma kritik aja. Disuruh bikin? Nanti dulu....

No comments: