Remaja dengan segala
pernak-perniknya memang menarik untuk diangkat dalam sebuah film. Apalagi sesi
jatuh cinta, proses yang dialami nyaris semua remaja. Tapi What They Don’t Talk
When They Talk About Love bukanlah film cinta remaja picisan yang lengkap dengan
galau menye-menye dan banjir airmata, serta dialog kaku yang terlalu dipaksa
untuk dibuat. Ini film dengan kadar jatuh cinta yang paling sempurna. Saking
sempurnanya, inilah film Indonesia pertama yang menjadi official selection di Sundance Film Festival.
Lupakan istilah “dari mata turun
ke hati” pada fase jatuh cinta. Kisah di film ini bukan bertumpu pada remaja
normal. Ini cerita jatuh cinta diantara anak-anak remaja yang difable. Karakter
bertumpu pada lima remaja yang 4 diantaranya menderita tuna netra. Satu lagi,
Edo (Nicholas Saputra), menderita tuna rungu sejak kecil yang membuatnya tak
bisa bicara. Keempat anak manusia ini bertemu dan berkelindan dalam sebuah
Sekolah Luar Biasa di Jakarta.
Diana (Karina Salim) adalah
penderita low vision yang membuatnya
sulit melihat dan harus dibantu dengan kacamata khusus. Jarak pandang Diana
terbatas, hanya sekitar 5cm saja maksimal. Diana jatuh cinta dengan Andhika
(Anggun Priambodo) siswa netra yang baru di Sekolah. Hanya saja, Andhika
terkesan pendiam, dan acuh dengan “kehadiran” Diana. Diana sendiri ingin merasakan
apa itu jatuh cinta dengan normal, melalui sandiwara radio yang selalu
direkamnya. Di sisi lain, Diana adalah obsesi tersendiri bagi orang tuanya akan
kecantikan dan kenormalan.
Sementara Fitri (Ayushita
Nugraha) menjadi obyek seksual pacarnya yang normal dan kaya. Entah bagaimana
mereka bertemu, yang pasti Fitri sering dikunjungi Lukman (Khiva Iskak), dan
sering diajak pergi pula. Dalam satu kesempatan, Edo mengintip Fitri yang “digarap”
Lukman di kamar asrama. Karakter Fitri unik, karena dia punya teman curhat, Pak
Dokter. Edo memanfaatkan situasi ini dengan “menampakkan diri” sebagai Pak
Dokter dan menjadikannya pemuas gejolak seksual Edo.
Adalagi Maya (Lupita Jennifer)
yang senang memakan Rainbow Cake, dan
punya cita-cita menjadi pesohor. Kelimanya seringkali saling “memandang” di
warung makan milik Bu Rusli (Jajang C. Noer).
JATUH CINTA DENGAN SEDERHANA
Kisah jatuh cinta remaja difabel
ini sangat menarik dan puitik. Tak ada embel-embel pandangan pertama yang
melakonlis. Karena tuna netra, mereka bersandar pada rasa dan perasaan, melalui
sentuhan, dan bicara dari hati ke hati. Kejujuran dan kepolosan remaja difable
ini terekam, misalnya, saat Diana “nembak” Andhika. Tapi bukan itu saja yang
ditunjukkan dalam film. Cinta juga butuh perjuangan.
Lihat bagaimana Edo yang bisu
berkomunikasi dengan Fitri. Melalui surat berhuruf braille, keduanya
berkomunikasi intens. Edo bahkan sampai belajar membaca huruf braille.
Seringkali, demi merebut hati Fitri, Edo menyelipkan kalimat-kalimat puitis
yang di conteknya dari film. Meski awalnya adalah memanfaatkan Fitri sebagai
pemuas seksual, Edo dan Fitri benar-benar jatuh cinta. Dan Edo yang tak tahu
bagaimana mendapatkan hati Fitri mau bersusah payah menjadi Pak Dokter dan
belajar huruf Braille hanya untuk bisa bersama Fitri.
Inilah realitas yang diangkat
Mouly Surya. Mouly memotret bagaimana para difable jatuh cinta dan memaknai
cinta itu sendiri. Mouly tidak sedang bersenang-senang mengeksploitasi difable.
Justru ia ingin “mengeluarkan” unek-unek para difable yang seringkali menjadi
sub-ordinat manusia normal. Para difable ini seringkali sengaja “dibuang”
orangtuanya. Edo ditemukan Bu Rusli di tong sampah. Fitri dan Diana dititipkan
pada asrama sekolah luar biasa. Fitri bahkan sedari kecil tinggal di asrama,
diserahkan orangtuanya langsung.
What they Don’t Talk cukup banyak
menangkap keresahan dan keinginan sederhana para difable.
Mereka ingin dihargai, punya keinginan dan
cita-cita selayaknya manusia normal. Diana punya kemampuan menari balet, sementara
Maya suka menyanyi. Bayangan akan keinginan para difable menjadi normal terekam
saat dialog Edo dan Fitri di kamar. Beberapa scene seks Edo dan Fitri, tidak
berarti menjadikannya film ini picisan dan murahan. Justru itu kesan utama,
bahwa para difable punya keinginan yang sama dengan manusia normal lainnya.
Persoalan caranya yang baik atau salah, terserah penonton menilainya.

Mouly juga mengesankan ingin
menangkap para difable dengan utuh, tanpa potongan-potongan yang bisa
menjadikannya bias. Melalui camera works yang penuh long track shot, penonton
diajak memahami sebab-akibat tanpa harus terpotong shot-shot yang tak perlu.
Simak bagaimana Edo berjalan menyusuri selasar sekolah untuk mengintip Fitri.
Atau Andhika saat masih baru masuk sekolah dan tak bisa menemukan ruang
kelasnya.
Bukan kebetulan bahwa dalam film
ini, perempuan menggunakan rasa dan perasaan hati untuk momen jatuh cinta,
sementara laki-laki masih terkonsep “dari mata turun ke hati” dan menjadi
makhluk romantis yang gemar bermain kata-kata indah. Karena mungkin “takdir”
jenis kelamin memang demikian. Maka sesuai
judulnya, tak usah bicara cinta kala sedang jatuh cinta… jatuh cinta lah dengan
sederhana…
*kredit foto: www.twitchfilm.com*
*kredit foto: www.twitchfilm.com*