Itu kata Puja (Bambang Hermanto)
tentang Laila (Dhalia), seorang pelacur yang punya cita-cita hidup ideal,
sambil menyilangkan jari telunjuknya ke dahi. Puja menganggap, mimpi Laila yang
utopis tentang hidup ideal adalah cita-cita gila. Padahal, Laila hanya ingin
punya laki, keluarga dan anak.
Mimpi yang “utopis” itulah yang
sebenarnya juga di alami Iskandar (A.N. Alcaff) setelah ia kembali dari perang.
Iskandar gagal beradaptasi dengan
dunia di luar gunung-hutan tempat dia berada selama ini. Sebagai “bekas”
pejuang, Iskandar punya cita-cita ideal tentang hidup setelah perang dan
penghargaan bagi dirinya yang bekas kombatan. Tetapi, dunia paska perang
tidaklah seindah yang dibayangkan Iskandar.
Bekas komandannya, Gunawan (Rd. Ismail), menyatakan bahwa perang belum
berakhir. Gunawan yang menjadi pengusaha sukses berkukuh bahwa perang secara
ekonomi juga sama pentingnya dengan perang revolusioner. Gunawan kemudian
menawarkan pekerjaan yang cocok untuk Iskandar: Tukang Pukul. Bagi Iskandar,
ini melecehkan harga dirinya, karena dalam mimpinya, paska perang dia bisa
bergaul normal dengan sesama manusia tanpa harus bersinggungan dengan
kekerasan.
Pada titik ini, Iskandar ”tersesat” di dunia yang sudah berubah. Dia
mengungkit sikap Gunawan semasa perang. Iskandar sudah diingatkan rekannya yang
lain, Gaffar (Awaluddin) untuk melupakan masa lalu. Toh, bagi Iskandar, Gunawan
harus bertanggungjawab atas apa yang ia perintahkan kepada Iskandar dan Puja di
masa perang.
Sebagai orang yang datang dari kelas menengah sebelum akhirnya memutuskan
ikut terjun bertempur, Iskandar adalah orang yang berpendidikan tinggi. Ia
sempat kuliah di ITB. Oleh calon ayah mertuanya, Iskandar dititipkan di kantor
gubernur untuk bekerja. Sayang, baru sehari bekerja dia di pecat. Sementara
Norma (Netty Herawati) tunangan Iskandar sedang mempersiapkan pesta kepulangan
Iskandar, hanya tahu Iskandar bekerja di kantor gubernur.
Yang menarik adalah bagaimana kelas menengah Indonesia di rekam oleh
sutradara Usmar Ismail. Pesta-pesta dan dansa-dansi mewarnai kehidupan Norma,
dan Adlin kakaknya. Seperti tidak peduli, pesta tetap diadakan meski Iskandar
tak berada di rumah..atau lebih tepatnya tidak peduli. Meski demikian, Norma
sudah cinta mati kepada Iskandar. Iskandar yang tersesat memutuskan kembali
kepada satu-satunya orang yang setia dan tidak setengah-setengah mencintainya,
yakni Norma.
Lewat Djam Malam berlatar Bandung di tahun sekitar 1949-1950, dimana
berlaku jam malam antara jam 10 malam sampai jam 5 pagi. Patroli militer akan
menangkap semua orang yang berada di jalan pada jam-jam tersebut. Tak segan
pula patroli menembak pelanggar jam malam.
Usmar Ismail dan Asrul Sani bisa membuat sebuah rekaman jejak hidup
Indonesia yang sangat muda. Oleh dua legenda film Indonesia ini digambarkan
sejak awal, rekam jejak hidup Indonesia penuh ketidaksempurnaan dan penuh
problema sosial-politik dan intrik. Iskandar pun jadi sosok yang mewakili
kegelisahan Usmar dan Asrul tentang masa depan Indonesia, yang mungkin sedang
menikmati buah kemerdekaan.
Sayangnya, potret kekhawatiran tentang Indonesia di masa depan ini justru
kurang mendapat perhatian di rumahnya sendiri. Film Lewat Djam Malam buatan
1954 itu kondisinya rusak berat, dan kemudian direstorasi oleh National Museum
of Singapore dan World Cinema Foundation
pimpinan Martin Scorcese, bekerja sama dengan Yayasan Konfiden dan Kineforum.
Tanpa usaha mereka, kita mungkin tidak bisa menikmati sebuah mahakarya masa lalu
tentang Indonesia.
Inilah film tentang totalitas anak bangsa yang ”Kepada mereka yang tidak
menuntut apapun buat diri mereka sendiri.”
*credit foto: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-l014-54-609457_lewat-djam-malam#.UAKHvJF1h6N*